Akabira, Jepang (ANTARA News) - Tsutomu Uematsu, 40 tahun, seorang operator di perusahaan kecil di Akabira, Hokkaido Tengah, mencoba mengembangkan roket berskala kecil untuk mewujudkan mimpi yang diidam-idamkannya sejak ia melihat di televisi Neil Armstrong, kapten pesawat ruang angkasa AS Apollo 11, berjalan di bulan pada 21 Juli 1969. "Meskipun gambarnya buram, saya ingat melihat astronot itu berjalan di bulan melalui siaran televisi," kata Uematsu, direktur pelaksana dari Uematsu Electric Co., yang membuat elektromagnet berukuran kecil untuk memisahkan besi tua. Perusahaan dengan 16 orang pegawai itu dikelola oleh ayahnya. Untuk mengembangkan roket "Camui", Uematsu melakukan eksperimen pembakaran pada sebuah mesin roket di pabriknya bersama Haruki Nagata, 41 tahun, seorang profesor teknik mesin angkasa luar di Universitas Hokkaido, beberapa mahasiswa, dan para pekerja pabrik. "Kau tidak harus melepaskan mimpimu, jika kau punya pengetahuan dan kecerdikan," katanya, seperti dilaporkan Kyodo. Maret tahun lalu, ia berhasil meluncurkan roket keempat di Taiki, kota pantai Hokkaido di tepi Samudera Pasifik, sekitar 150 kilometer sebelah tenggara Akabira. Roket berwarna keperakan dengan panjang 1,6 meter tersebut meluncur sampai ketinggian 1 kilometer, tempat sebuah "satelit buatan manusia" memisahkan diri dari roket pendorong. Saat ini, Uematsu dan rekannya berencana untuk meluncurkan sebuah roket sepanjang 3,8 meter ke ketinggian 10 km. Target ketinggian akan dinaikkan menjadi 60 kilometer pada 2008 dan 110 km pada 2013, saat percobaan gravitasi nol akan dilakukan. Setelah lulus dari Institut Teknologi Kitami, Uematsu bekerja di sebuah pabrik pesawat terbang dan bertugas untuk menciptakan bentuk pesawat terbang dengan menggunakan aeromekanik. Ia juga turut ambil bagian dalam pengembangan roket utama Jepang, H-2. Namun karena tidak puas dengan pekerjaannya di sana, ia memutuskan untuk kembali ke perusahaan yang dijalankan oleh ayahnya untuk kemudian bertugas memperbaiki komponen listrik. Tetapi, saat usahanya kurang bergairah, mereka memutuskan untuk memproduksi elektromagnet yang teknologi pembuatannya didapat anak laki-lakinya ketika masih bekerja di perusahaan pesawat angkasa luar, dan bisnis pun mulai bangkit. Ketika ia mengetahui bahwa Nagata pernah mengembangkan sebuah mesin roket unik pada 2004 yang menggunakan campuran dari plastik dan oksigen cair sebagai bahan bakar, ia menawarkan kerjasama. "Saya pikir jika mesinnya berhasil dikembangkan, kita bisa membuat sebuah roket yang bisa diluncurkan," kata Uematsu. Untuk memproduksi roket yang murah tapi berkualitas tinggi, ia menggunakan bahan berspesifikasi teknis, bukan bahan yang bisa dipesan. "Dengan menggunakan bahan spesifikasi, kita bisa menghemat biaya dan memperpendek waktu produksi. Misalnya, badan roket dibuat dari pipa alumunium pengelas. Universitas Hokkaido telah menghabiskan 1,5 juta yen untuk pembuatan badan roket itu, tapi kami bisa membuatnya hanya dengan beberapa puluh sampai ribuan yen," ungkapnya. Di samping fasilitas untuk eksperimen pembakaran di kompleks pabrik seluas 7.500 meter di kawasan itu, ada sebuah pabrik untuk pengembangan roket yang lantai duanya digunakan sebagai ruang pertemuan dan asrama. Pada Mei tahun lalu, sebuah menara besi untuk percobaan gaya berat-nol setinggi 55 meter telah dibangun. Jasa Apollo Sejumlah besar uang dan tenaga telah dikeluarkan untuk program Apollo dalam rangka mengirim manusia ke bulan, namun program selanjutnya hanya membuat sedikit kemajuan. Akan tetapi, roket dari masa Apollo-lah yang sangat berjasa bagi Uematsu. "Teknologi tingkat tinggi pada waktu itu dapat dibeli dengan cara memesan dari katalog sekarang. Bahan, peralatan, dan mesin sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, dan akan sedikit aneh jika kita tidak bisa mencapai tingkat program Apollo," tambahnya. Nagata berkata," Sekitar 60 tahun yang lalu, Jerman dapat membuat roket V-2. Itu bukan sesuatu yang tidak bisa kita buat." Umetsu mengatakan, "Saya jadi bertanya-tanya apa saja yang sudah dilakukan oleh generasi "baby-boomer", yang seharusnya sukses dalam teknologi. Ini kesempatan terakhir untuk mengambil alih teknologi." Langkah pertama untuk mengoperasikan roket Camui adalah dengan percobaan gaya berat-nol dan pengamatan meteorologis dari stratosfer, yang biayanya jutaan yen. "Kita ingin meluncurkan sebuah benda seberat 4 kilogram ke ketinggian 60 kilometer menuju pantai dengan biaya satu juta yen, dan melakukan hal itu berulangkali," kata Nagata. Uematsu mengatakan, "Yang terpenting dari sebuah impian besar adalah dengan tetap berusaha. Jika kita bisa menciptakan lingkungan untuk meluncurkan roket berkali-kali, kita akan menjadi yang terbaik di dunia. Jika itu dilakukan, Hokkaido akan berubah." Keterlibatan swasta Ryojiro Akiba, 76 tahun, mantan kepala laboratorium antariksa departemen pendidikan mengatakan bahwa sementara roket V-2 Jerman dikembangkan sebagai senjata, pada abad ke-20 negara-negara memajukan pengembangan antariksa untuk tujuan militer dan peningkatan gengsi bangsa. "Tapi situasi akan berbeda pada abad ke-21 karena sektor swasta dapat mengambil inisiatif dalam pengembangan angkasa luar karena pemerintah, baik Jepang maupun AS, tidak memiliki cukup uang untuk itu. Antariksa tidak bisa dimanfaatkan jika tidak ada dana dari swasta," ujarnya. "Teknologi roket Camui masih belum sempurna, tapi sudah banyak keuntungannya. Di atas itu semua, roket ini dapat diproduksi dengan biaya yang rendah. Uematsu bukan hanya sekedar sebuah operator perusahaan kecil. Saya sarankan Anda untuk memperhatikan secara seksama perkembangan roket swasta," kata Akiba. (*)
Copyright © ANTARA 2006