Nay Piy Taw (ANTARA News) - Sistem keamanan di SEA Games 2013 Myanmar sangat ketat dengan sistem berlapis terhadap para wartawan yang akan meliput pesta akbar olahraga negara-negara Asia Tenggara di Myanmar.

Wartawan dari berbagai negara peserta SEA Games yang sudah mengajukan pendaftaran sebagai peliput pada SEA Games Myanmar telah diproses sebelumnya oleh pihak panitia SEA Games di Myanmar, dan kembali dikirimkan ke negara masing-masing.

Namun ketika wartawan dan pihak lain yang berkepintingan dengan SEA Games dan telah membawa kartu pengenal (ID Card) dari negara masing-masing ketika menginjakkan kaki di bandara internasional Yangon masih harus dikonfirmasi kembali kartu pengenal mereka dan setelah lolos pemeriksaan ID Card ditempel hologram sebagai tanda ID Card resmi.

Pemeriksaan kartu pengenal tidak selesai di situ saja, wartawan tidak langsung dengan mudah untuk masuk ke Main Press Center (MPC), mereka harus mengisi formulir dan menyerahkan pas foto untuk kelengkapan pembuatan ID Card tambahan selain ID Card resmi sebelumnya.

"Ini persyaratan seorang wartawan atau siapa saja untuk bisa masuk ke MPC, selain ID Card resmi yang itu," kata seorang petugas pendaftaran kartu pengenal Ni Zaw di Nay Piy Taw, Rabu.

Sementara itu Kabag Humas Kemenpora Achmad Arsani sedikit merasa kesal juga kepada petugas pendaftaran ID Card di MPC, menyusul dirinya harus melakukan pemotretan ulang setelah dirinya tidak bisa melengkapi persyaratan dua pas foto.

"Wah saya terpaksa foto lagi, saya hanya punya satu pas foto, dan mereka tidak mau terima hanya satu foto yang saya punya, di sini memang ketat keamanannya," kata Achmad Arsani ketika berada di MPC Nay Piy Taw, Myanmar, Rabu.

Cukup Sederhana

Sangat sederhana! itu kesan yang bisa dirasakan terhadap panitia peyambutan tamu peliput SEA Games 2013 Myanmar ketika kami menginjakkan kaki di bandara internasional Yangon malam hari sekitar pukul 19:30 waktu setempat, Selasa (10/12).

Kami wartawan beserta Kabag Humas dan staff Kemenpora langsung menuju meja pendataan ulang ID Card di panitia yang berada di bandara, dan semua berjalan lancar setelah kami mendapatkan pengesahan dengan tempelan hologram SEA Games di kartu pengenal kami.

Namun, kami tidak melihat kemeriahan penyambutan tamu-tamu SEA Games di bandara, dan kami yang harus aktif bertanya tentang segala sesuatunya seperti informasi seputar SEA Games di Nay Piy Taw tempat berlangsungnya pesta olahraga itu.

Bahkan di bandara internasional Yangon tidak tampak meriah adanya baliho ataupun spanduk-spanduk penyambutan tamu serta deretan bendera-bendera negara peserta SEA Games seperti yang biasa terdapat pada tuan rumah-tuan rumah SEA Games sebelumnya. Kami hanya mendapati satu spanduk yang menandakan adanya SEA Games Myanmar.

Setelah menempuh perjalanan darat dengan mobil hampir enam jam dari bandara internasional Yangon, tibalah di ibukota baru Myanmar Nay Piy Taw, kota yang dijadikan tuan rumah perhelatan ajang pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara SEA Games 2013.

Perjalanan yang dilalui pada malam hari pukul 19:30 waktu setempat dari bandara itu, sepanjang perjalanan kami tidak mendapati adanya baliho-baliho besar yang menandakan SEA Games, paling hanya ada semacam umbul-umbul kecil yang berderet sepanjang jalan.

Begitu sampai di kota Nay Piy Taw suasana sekitar pukul 02:00 pagi waktu setempat, Rabu, suasana kota tersebut sangat sepi dan kami langsung masuk hotel.

Telekomunikasi kurang

Kesederhanaan fasilitas pendukung di SEA Games Myanmar juga cukup tampak di bidang telekomunikasi. Para wartawan lebih banyak mengandalkan Wifi dan MPC sebagai fasilitas pengiriman berita.

Provider telekomunikasi dari Indonesia tidak bisa terhubung ketika dipakai di Nay Piy Taw, dan setidaknya harus memakai telekomunikasi lokal, karena lokasi setempat tidak ada kerjasama dengan telekomunikasi lain.

"Saya terpaksa mengandalkan wifi di hotel untuk pengiriman berita, karena peralatan telekomunikasi dengan provider Indonesia yang saya bawa dari Indonesia tidak berfungsi di Nay Piy Taw ini, dari stadion utama juga agak sulit sinyalnya," kata seorang wartawan Indonesia Muhajir.

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013