Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa pihaknya mencanangkan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit dan kolegium sebagai salah satu kebijakan guna memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Indonesia.

Dalam peluncuran program pendidikan dokter spesialis dengan rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama (PPDS RSPPU) di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita di Jakarta, Senin, Budi mengatakan bahwa saat ini, produksi dokter spesialis Indonesia mencapai 2.700 per tahunnya.

"Kebutuhan kita 29.000-30.000. Jadi butuh waktu 10 tahun lebih. Dan itu terjadi terus setiap tahun. Sebagai komparasi, Inggris yang penduduknya 50 juta, seperenam dari Indonesia, produksi dokter spesialisnya 12.000 per tahun. Hampir 5 kali lipat dari produksi di Indonesia," ujarnya.

Baca juga: IDI harap PPDS berbasis RS mampu menjawab masalah maldistribusi dokter

Baca juga: Kemenkes: Lulusan PPDS berbasis RS harus berkualitas global

Budi menuturkan, selama 79 tahun, distribusi dokter yang tidak merata di Tanah Air masih menjadi masalah yang tak dapat diselesaikan. Oleh karena itu, katanya, Pemerintah berkolaborasi dengan Institute of Health Metric Evaluation (IHME) dalam pembuatan kebijakan bidang kesehatan untuk 15 tahun ke depan.

IHME, katanya, membantu menghitung kebutuhan dokter spesialis di level kabupaten dan kota, berdasarkan pola demografis dan epidemiologis, dan mendapatkan angka 29 ribu tersebut.

Oleh karena itu, ujarnya, Indonesia pun mengadopsi sistem pendidikan berbasis RS tersebut, yang sudah menjadi standar global, guna memenuhi kebutuhan dokter spesialis.

"420 rumah sakit pendidikan sekarang akan mendampingi 24 fakultas kedokteran yang sudah melakukan pendidikan spesialis. Sehingga bukan hanya 24 yang bisa produksi, tapi ditambah lagi 420," katanya.

Dia menjelaskan, pendidikan spesialis dokter memakan biaya yang mahal. Akan tetapi, katanya, pada program ini, para residen tidak perlu membayar uang kuliah ataupun uang pangkal, dan mendapatkan keuntungan yang sama dengan tenaga kerja lainnya.

"Mereka akan mendapat perlindungan kesehatan, perlindungan hukum, jam kerja yang wajar, dan statusnya bukan status di bawah. Bukan status pesuruh, bukan status pembantu," katanya.

Adapun untuk kualitas program, ujarnya, pihaknya melibatkan seluruh kolegium Indonesia untuk pembuatan kurikulum, serta berkolaborasi dengan para ahli dari luar negeri untuk memperkaya kurikulum tersebut.

Baca juga: Kemenkes buka enam prodi di RS pendidikan atasi rasio dokter spesialis

Baca juga: RI kembangkan kompetensi SDM kesehatan melalui kerja sama Singapura

Baca juga: Kemenkes RI siapkan Rp30 triliun bantuan alat kesehatan

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024