Denpasar (ANTARA) - Sejak beberapa minggu terakhir harga komoditas bawang merah di Bali mengalami kenaikan hingga mencapai Rp50 ribu per kilogram dari harga biasanya berkisar Rp22-25 ribu per kilogram. Bahkan, harga tertinggi terjadi di sejumlah pasar di Kabupaten Jembrana yang mencapai Rp55 ribu per kilogram.
Kenaikan harga tersebut bukan karena tingginya permintaan saat momen tertentu misalnya hari besar keagamaan, melainkan gagal panen akibat perubahan iklim yang membuat mundurnya masa tanam dan musim panen.
Ketua Asosiasi Bawang Merah Kabupaten Bangli, Bali, Ketut Lama, menjelaskan keterbatasan pasokan air menjadi penyebab utama gagal panen yang mendorong kenaikan harga bawang merah tersebut.
Selama 2,5 bulan, yakni sejak November 2023 hingga pertengahan Januari 2024, sumber air menjadi terbatas karena tidak adanya hujan yang menyebabkan lahan pertanian menjadi lebih kering.
Akibatnya, para petani bawang merah di daerah itu mengalami gagal panen yang diperkirakan mencapai setengah dari total luas tanam bawang merah di Kabupaten Bangli.
Luas tanam bawang merah di Kabupaten Bangli mencapai 986 hektare, atau sekitar 86,34 persen dari total luas tanam di Pulau Dewata sebesar 1.142 hektare.
Bahkan, keterbatasan pasokan air mengakibatkan hanya dua dari tiga hektare lahan garapan bawang merah milik Ketut Lama yang teraliri air dengan optimal. Sisanya, seluas satu hektare tanaman bawang merah minim pengairan sehingga tidak ada satu kilogram pun bawang yang bisa dipanen karena rusak.
“Kami kehilangan modal, dan sebagai kelanjutannya itu tidak menanam (bawang merah) karena El Nino, kemarau panjang,” kata Ketut Lama.
Kabupaten Bangli menjadi sentra penghasil bawang merah yang tersebar di sejumlah desa di wilayah Kaldera Batur di antaranya Desa Songan A dan Songan B.
Kabupaten berhawa sejuk itu juga memegang peranan penting sebagai pemasok bawang merah di Bali. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, total produksi bawang merah daerah ini mencapai 33.430 ton pada 2023.
Sementara itu, menurut Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, kaldera Batur merupakan ketel raksasa berukuran 13,8 x 10 kilometer.
Kaldera itu tertutup dari segala arah yang merupakan salah satu kaldera terbesar dan terindah di dunia, dengan pematang kaldera memiliki tinggi berkisar antara 1.267 meter-2.115 meter dengan puncaknya adalah Gunung Abang.
Inovasi pengairan
Sumber air utama untuk irigasi pertanian hortikultura termasuk bawang merah di desa itu berasal dari Danau Batur yang berjarak sekitar empat kilometer dari lahan pertanian bawang di Desa Songan B.
Salah satu inovasi yang dilakukan adalah dengan mengalirkan air dari danau yang memiliki luas permukaan 16,05 kilometer persegi itu menggunakan mesin pompa.
Air itu kemudian ditampung dalam tiga bak penampungan permanen yang dibangun atas bantuan Bank Indonesia. Salah satu bak berukuran 10 meter x 10 meter x 2 meter yang dibangun pada September 2023.
Selain air danau, bak penampungan tersebut juga sekaligus dapat menampung air hujan. Selanjutnya, air didistribusikan kembali untuk mengairi lahan pertanian bawang milik Kelompok Tani Sejati Desa Songan B dengan lahan seluas sekitar 30 hektare yang digarap 30 petani.
Air kemudian didistribusikan menggunakan alat penyemprotan “sprinkle” untuk menyiram tanaman bawang di beberapa lahan percontohan kelompok tani itu sehingga dapat menghemat tenaga manusia dan memastikan tanah subur merata.
Inovasi untuk penyediaan air itu memang membutuhkan biaya atau investasi yang tidak sedikit. Kelompok petani itu membangun inovasi penyiraman air tersebut dengan mengakses kredit dari salah satu bank.
Dampak sosial
Dengan jumlah petani bawang merah mencapai 700 orang yang tersebar di 12 desa di Kaldera Batur seluas 986 hektare, para petani masih merasakan terbatasnya sumber air.
Petani juga mengakui bahwa masifnya pembangunan sarana akomodasi pariwisata di sekitar danau juga berpotensi menimbulkan hambatan. Pasalnya, pipa-pipa yang menyalurkan air dari danau ke lahan pertanian juga ada yang melewati infrastruktur pariwisata yang saat ini sedang berkembang pesat di daerah itu.
Di satu sisi, mereka tak ingin ada permasalahan yang berdampak kepada sektor pariwisata, namun di sisi lain para petani juga membutuhkan air untuk pertanian yang sumber utamanya dari Danau Batur.
Untuk itu, penambahan sumber air perlu dilakukan, salah satunya memanfaatkan air tanah dengan cara membuat sumur bor. Tapi, pemanfaatan air tanah itu membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk pembangunan instalasinya.
“Jarang orang memberikan lintas pipa di pinggiran danau karena marak pembangunan vila di pinggiran danau,” kata Ketut Lama yang juga Ketua Kelompok Tani Sejati Desa Songan B itu.
Potensi air
Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (PPPE) Bali dan Nusa Tenggara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat Status Daya Dukung Air Pulau Bali pada 2021. Dalam dokumen itu disebutkan total tampungan air danau dan waduk di Bali mencapai 1,036 juta meter kubik yang digunakan untuk irigasi dan keperluan konsumsi penduduk.
Di Bali terdapat empat danau yakni Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan dan yang terbesar adalah Danau Batur.
Sedangkan air tanah, potensi di Bali mencapai 8.000 juta meter kubik. Potensi air tanah di Bali tersebar di delapan cekungan air tanah (CAT) dan khusus wilayah Kabupaten Bangli sebagian besar termasuk dalam CAT Denpasar-Tabanan.
Namun, wilayah utara Kecamatan Kintamani meliputi kawasan Kaldera Gunung Batur masuk dalam CAT Tejakula yang memiliki kapasitas aliran 188 juta meter kubik per tahun.
Meski begitu, kawasan Kaldera Gunung Batur termasuk daerah air tanah langka karena berkaitan dengan litologi penyusun daerah tersebut yang merupakan aliran lava basaltik.
Apabila ditinjau berdasarkan ekosistem alami penyedia air, status air di Kabupaten Bangli pada 2025 diperkirakan surplus. Kebutuhan air pada 2025 diperkirakan mencapai 2.382,05 liter per detik, sedangkan ketersediaan air dari ekosistem alami mencapai 9.750,27 liter per detik atau surplus sebesar 7.368,2 liter per detik.
Sementara itu, PPPE juga menyebutkan pengembangan penyediaan air dengan risiko minimal masih dapat dilakukan di Bangli namun, dengan nilai manfaat yang kecil bahkan minus. Nilai manfaat minus itu berarti fungsi ekosistem tidak mampu mendukung penyediaan air yang ada di atasnya.
Dengan demikian, untuk mengembangkan infrastruktur air di wilayah itu membutuhkan investasi yang besar.
Mitigasi kekeringan
Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, Bali, memperkirakan awal musim kemarau 2024 bertahap mulai Maret 2024 di 20 zona (wilayah) musim di Pulau Dewata. Secara umum, puncak musim kemarau itu terjadi pada Juli-Agustus 2024.
Menyikapi hal itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali I Made Rentin memetakan sejumlah langkah antisipatif jangka pendek, misalnya dengan penampungan air pada sisa musim hujan ini.
Pengelolaan air untuk lahan pertanian juga perlu dilakukan pengukuran yang cermat dan hemat agar dapat menekan risiko penurunan hasil panen. Tak hanya itu, tapi juga perlu mempertimbangkan budi daya pertanian yang tak banyak mengonsumsi air.
BPBD Bali menyiagakan pula truk tangki air, toren atau tandon air hingga pompa air yang sewaktu-waktu dikerahkan untuk membantu menangani kekeringan. Memastikan ketersediaan air khususnya untuk memenuhi kebutuhan pertanian adalah hal yang mutlak dilakukan di antaranya dengan memperkaya inovasi.
Inovasi itu misalnya dengan membangun jaringan irigasi baru, penyuluhan kepada masyarakat, hingga memastikan pengelolaan tata ruang wilayah yang baik, dengan memanfaatkan skema investasi inovatif dan dukungan untuk jangka panjang. Tujuannya, untuk menekan dampak ekonomi hingga gesekan sosial yang berpotensi terjadi akibat kekeringan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024