"Hal itu bahkan terjadi pada perusahaan media kelas atas," ujar politisi perempuan dari Partai Kebangkitan Bangsa kelahiran Karanganom, Lampung Timur, di Bandarlampung, Jumat.
Dilihat dari semua aspek, kebijakan media massa seperti itu menunjukkan indikasi pelanggaran undang-undang, kata Chusnunia, Pengurus Pimpinan Pusat Fatayat NU periode 2010--2015 itu, .
"Ini sudah sering kita teriakkan, seperti tentang status kerja, jurnalis dijadikan pekerja tidak tetap selama puluhan tahun, layaknya buruh outsourcing. Padahal jelas yang namanya media massa tentu pewarta yang bekerja di dalamnya adalah masuk kategori sektor utama, bukan penyangga," ujarnya pula.
Lulusan Magister Ilmu Politik Universitas Nasional dan Magister Kenotariatan Universitas Indonesia itu menegaskan, sebenarnya ukuran jurnalis masuk kategori sektor utama sederhana saja, tanpa pewarta pasti akan lumpuh perusahaan media tersebut.
"Itu hanya dari sisi status kerja. Belum lagi tentang perjanjian kerja, tentang kepersertaan jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan sebagainya," katanya pula.
Jadi intinya, kata Chusnunia yang sedang menyelesaikan disertasi pada Program Doktor Ilmu Politik di University of Malaya Kuala Lumpur itu menambahkan, perusahaan media yang gembar-gembor tentang keadilan, tentang hak asasi manusia itu justru yang harus bisa mewujudkannya dalam internal perusahaan sendiri lebih dulu.
"Tanpa perjanjian kerja, pewarta rawan menghadapi tindak kekerasan. Contohnya kasus Luviana dari Metro TV. Belum lagi kita bicara dari sisi posisi jurnalis yang rentan mendapatkan teror kekerasan dari pihak eksternal. ini sering kali dialami jurnalis di berbagai daerah. Inilah pentingnya proteksi, jaminan kecelakaann kerja dan sebagainya," kata dia lagi.
Berkaitan dengan itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung Yoso Muliawan mengingatkan perusahaan media massa agar dapat terus meningkatkan gaji dan kesejahteraan wartawannya, sehingga tidak terjadi praktik perbudakan jurnalis yang bekerja di media tertentu namun tidak jelas penghasilannya.
Berdasarkan survei terakhir AJI Bandarlampung pada tahun 2008, jumlah upah layak bagi jurnalis lajang di Lampung minimal sebesar Rp2.315.280 per bulan.
"Pada tahun itu, mayoritas media massa di Lampung mengupah jurnalisnya di bawah angka Rp2.315.280 per bulan. Bahkan, ada yang jauh di bawah angka itu, persisnya di bawah Upah Minimum Provinsi Lampung saat itu Rp617.000 per bulan," katanya pula.
AJI Bandarlampung kata Yoso menegaskan, akan terus mendorong media massa di Lampung untuk dapat menerapkan kebijakan mengupah jurnalisnya secara layak agar bisa bekerja profesional dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.(*)
Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013