Posisi Indonesia untuk Paket Bali ini memerlukan fleksibilitas dalam batas kewajaran,"
Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - "WTO sudah melalui malam-malam panjang yang gelap, dengan keindahan matahari pagi Bali saya berharap itu akan menjadi matahari pagi WTO."
Kalimat itu terlontar dari Direktur Jenderal World Trade Organization Roberto Azevedo, saat memberikan sambutan pembukaan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Selasa (3/12).
Bukan tanpa alasan, sejarah panjang Doha Development Agenda (DDA) yang dimulai sejak 2001 masih terhenti dan belum menghasilkan kesepakatan dari 160 negara anggota WTO, dan merupakan malam-malam kelam yang selama ini masih menaungi Organisasi Perdagangan Dunia tersebut.
Sedikit harapan mulai muncul saat dilangsungkannya General Council di Jenewa pada akhir November lalu yang diluar dugaan telah membuahkan beberapa kesepakatan Proposal Paket Bali.
Berbeda dengan DDA yang memiliki ambisi untuk menyelesaikan sebanyak 19 poin isu runding, Paket Bali hanya memiliki tiga isu runding yang menekankan pada Trade Facilitation (TF), Agriculture, dan Least Developed Countries (LDCs).
Dalam TF yang dibagi dalam dua sections tersebut, akan memuat langkah-langkah atau komitmen yang mengikat untuk memperlancar arus ekspor, impor, dan barang dalam proses transit, yang terdiri dari 15 pasal diantaranya mengatur "prior publication and consultations; advance rulings; measures to enhance impartiality, non-discrimination and transparency; disciplines on fees and charges; release and clearance; dan freedom of transit" yang akan dibahas pada section satu.
Sementara dalam section dua, memuat ketentuan bagi negara berkembang dan LDCs seperti kategori komitmen.
Untuk poin LDCs, dibagi dalam dua kelompok, yaitu S and D treatment yang pada intinya akan mengaktifkan penerapan sistem S and D treatment dalam sistem perdagangan; dan Bali LDC Package yang berisikan Duty Free Quota Free, Streamlined Rules of Origin, Service Waiver, dan Cotton.
Negosiasi berat terjadi dalam Paket Agriculture yang dibagi dalam dua bagian yaitu Proposal G20 yang meminta agar administrasi Tariff Rate Quota agar lebih transparan, dan disiplin atas Export Competition.
Yang menjadi kunci bagi Paket Bali juga tercantum dalam Paket Agriculture adalah Proposal G33 yang terkait dengan Stok Pangan Publik untuk Keamanan Pangan agar dibebaskan dari disiplin subsidi di WTO.
Negosiasi Paket Agriculture tersebut bukan tanpa hambatan meskipun pemerintah Indonesia meyakini bahwa hampir seluruh anggota WTO telah memberikan sinyal yang menginginkan adanya hasil dari pertemuan Bali kali ini.
India Belum Bersepakat
Saat menyampaikan pidato dalam Plenary Session KTM WTO ke-9, Menteri Perdagangan dan Perindustrian India, Anand Sharma menegaskan bahwa negeri dengan penduduk kurang lebih 1,2 miliar jiwa tersebut tidak akan merubah sikap terkait dengan solusi interim stok ketahanan pangan yang telah ditawarkan.
"India tidak akan ada negosiasi atau kompromi terkait untuk ketahanan pangan, publik butuh keamanan pasokan cadangan pangan dan aturan WTO harus dikoreksi," kata Sharma, di Nusa Dua, Bali, Selasa (3/12).
Dalam negosiasi terkait solusi interim tersebut, negara maju seperti Amerika Serikat sesungguhnya telah menyetujui usulan negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun memberikan jangka waktu terhadap pelaksanaannya.
Jangka waktu yang diberikan selama 4 tahun tersebut tidak diterima oleh India yang menginginkan adanya solusi permanen dan juga adanya penyesuaian harga dengan tidak lagi menggunakan acuan harga dari tahun 1986-1988.
Sementara itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah berusaha sekuat tenaga untuk membuahkan Paket Bali, dan memecahkan kebuntuan dari DDA yang mandek kurang lebih selama 12 tahun tersebut.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bahkan menyatakan bahwa Indonesia akan mengambil sikap yang lebih fleksibel terkait negosiasi Paket Bali khususnya dalam Paket Agriculture yang hingga saat ini masih berat untuk diselesaikan.
"Posisi Indonesia untuk Paket Bali ini memerlukan fleksibilitas dalam batas kewajaran," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dalam jumpa pers di Nusa Dua, Bali, Selasa (3/12).
Menurut Gita, Indonesia sebagai tuan rumah bisa mengerti posisi negara-negara maju dan anggota G33 yang lain termasuk India yang masih bersikap keras terkait dengan penerapan solusi interim.
Sementara itu, Ketua Delegasi Perdagangan Amerika Serikat Michael Froman juga menyatakan keinginan negara adi daya tersebut agar Paket Bali bisa disepakati dan menjadi kunci untuk melanjutkan perundingan-perundingan yang lebih besar.
"Mungkin tidak semua paket sepeti yang diharapkan tetapi negosiator sudah bekerja keras. Jika Bali menghasilkan sesuatu akan merubah skeptisme terhadap WTO," kata Froman, dalam Plenary Session Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-9, di Nusa Dua, Bali, Selasa.
Froman menyatakan pihaknya telah melakukan negosiasi yang sangat keras, namun dia menegaskan bahwa Amerika Serikat juga telah fleksibel terhadap usulan-usulan yang datang dari negara berkembang ataupun negara miskin.
Paket Bali Terancam Gagal
Sikap India memasuki hari ketiga KTM WTO ke-9 bukan melunak, bahkan negeri Bollywood tersebut bersikeras bahwa apa yang diperjuangkannya tersebut merupakan hal yang sangat fundamental.
"Saya tegaskan, kami datang ke Bali bukan untuk memohon adanya peace clause yang mengikat dengan menggunakan acuan harga produk pertanian dari tahun 1986-1988," tegas Sharma dalam jumpa pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12).
Selama ini, pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian diambil dari mekanisme Agreement on Agriculture (AoA) tahun 1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan berkembang.
Sikap India menuntut adanya perubahan harga acuan pokok pertanian yang hingga saat ini masih menggunakan acuan Putaran Uruguay tahun 1986-1988 karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini yang telah memasuki abad 21.
"Jika kita mengacu pada harga acuan produk pertanian dari Putaran Uruguay, tidak ada keseimbangan, karena harga tersebut berdasarkan tahun 1986-1988," kata Sharma.
Menurut Sharma, jika harga acuan produk pertanian yang dipergunakan adalah dari tahun 2013 akan lebih masuk akal dan diterima, karena harga produk pertanian telah banyak berubah dari tahun 1986 sampai tahun 2013.
"Jika ada seseorang yang menyatakan bahwa harga makanan tidak berubah dalam waktu tiga dekade terakhir, dengan sangat hormat, saya tidak menyetujui hal tersebut," ujar Sharma.
Sharma menjelaskan, sikap India yang menginginkan adanya revisi acuan harga produk pertanian tersebut sesungguhnya mendapatkan dukungan dari banyak negara, bukan hanya beberapa negara saja. Bahkan dia mengklaim bahwa sebanyak dua per tiga populasi dunia menginginkan hal tersebut karena menyangkut keamanan pangan.
Sikap India yang keras tersebut, dinilai sebagian kalangan sebagai langkah politik karena pada tahun 2014 mendatang, India akan menyelenggarakan pemilu. Namun, Sharma menegaskan banhwa negosiasi terkait keamanan pangan tersebut telah ada sejak tahun 2008 lalu.
"Proposal terkait keamanan pangan tersebut telah dibahas sejak 2008, bukan karena adanya tahun politik di India dan secara tiba-tiba kami membahas hal tersebut," tegas Sharma.
Pada besok, Jumat (6/12), merupakan hari terakhir penyelenggaraan KTM WTO Ke-9 yang sudah dilangsungkan mulai Selasa (3/12) lalu. Dan apabila India tidak merubah sikap, maka nasib Paket Bali juga bisa dipastikan gagal.
Berbagai pandangan juga menyatakan bahwa jika Paket Bali pada akhirnya tidak disetujui, maka kredibilitas WTO yang menjadi taruhannya, dan akan menghilangkan kepercayaan sebagian besar anggota-anggota organisasi internasional tersebut.
Dalam penentuan apakah Paket Bali bisa dibuahkan atau tidak, WTO menganut klausul "Single Undertaking" yang berbunyi "Nothing is agreed, until everything is agreed" atau tidak ada sesuatu yang bisa disepakati sampai semua menyetujuinya.
Menanggapi tudingan bahwa sikap India tersebut akan memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan WTO, Sharma menjelaskan, WTO tidak akan bubar jika pada akhirnya tidak tercapai kesepakatan berupa Paket Bali.
"Lebih baik tidak menghasilkan kesepakatan, daripada menghasilkan kesepakatan yang jelek," ujar Sharma.
(V003/A025)
Oleh Vcki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013