Jakarta (ANTARA) - Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berkomitmen mendukung pemerintah Indonesia untuk membangun sistem kesehatan yang tahan dengan perubahan iklim.
Hal tersebut diwujudkan dalam penandatanganan komitmen bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia dalam proyek yang didanai oleh Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund/CGF), sebuah program investasi iklim global yang ambisius, di Jakarta, Senin.
Perwakilan tetap UNDP Indonesia Sujala Pant mengatakan di dalam sistem PBB, UNDP memiliki portofolio program iklim yang paling besar, dengan dukungan terhadap aksi iklim di hampir 150 negara berkembang.
Sejalan dengan hal tersebut, 72 persen dari program UNDP di Indonesia juga berfokus pada ketahanan perubahan iklim dan bencana alam.
"Kami percaya bahwa perubahan iklim merupakan isu yang saling terkait, sehingga kami telah mengintegrasikannya di hampir seluruh area yang kami kerjakan, seraya terus mencari tahu cara mengembangkannya dan mencari solusi yang mampu memberikan respon lebih baik terhadap dampak dari perubahan iklim di masa yang akan datang," ujar Sujala.
Sementara, Perwakilan WHO untuk Indonesia Dr N. Paranietharan dalam kesempatan yang sama menyebutkan perubahan iklim mempengaruhi penyakit dengan mengubah variabel-variabel iklim seperti curah hujan, suhu, dan kelembaban, yang mempengaruhi dinamika penyebaran penyakit.
Penurunan curah hujan dan suhu di Maluku meningkatkan kasus pneumonia sebesar 96 persen dan kasus diare sebesar 19 persen.
Lebih lanjut, suhu yang lebih tinggi dan curah hujan yang lebih tinggi meningkatkan kasus demam berdarah sebesar 227 persen di Bali-Nusa Tenggara, dan kasus malaria di Papua sebesar 66 persen.
Indonesia diperkirakan mengalami kerugian ekonomi sebesar 1,86 persen (sekitar Rp21,6 miliar) akibat dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan.
Di sisi lain, laporan Bank Dunia menyatakan bahwa dampak perubahan iklim pada sektor air dapat menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 7,3 persen persen pada tahun 2045.
Jika dibiarkan tanpa pengawasan, perubahan iklim juga akan mempengaruhi profil kesehatan generasi saat ini dan masa depan, menjadi beban bagi sistem kesehatan, dan menghambat upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan cakupan kesehatan universal.
“Peluncuran inisiatif ini menandai langkah maju yang berani bagi Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak kesehatan perubahan iklim, dan akan mempercepat kemajuan di sini, seperti di seluruh dunia. Menuju masa depan yang lebih sehat, lebih hijau, lebih tangguh, dan lebih berkelanjutan bagi semua orang,” ujar Paranietharan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mendukung energi dan sumber daya yang diperlukan untuk memimpin proyek tersebut.
Melalui komitmen bersama pada proyek GCF ini, Kemenkes, UNDP, bersama dengan WHO akan berkolaborasi untuk mencapai serangkaian tujuan, terutama dalam mengurangi kerentanan Indonesia terhadap penyakit yang terkait dengan iklim dan gangguan pada layanan kesehatan, termasuk meningkatkan hasil kesehatan bagi populasi rentan dan kurang beruntung, yang secara tidak proporsional terkena risiko kesehatan iklim.
Proyek ini akan melibatkan kolaborasi yang luas dengan pemangku kepentingan utama, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mulai dari pemilihan lokasi hingga sinkronisasi tujuan proyek dengan strategi pembangunan nasional Indonesia yang menyeluruh.
Selain itu, proyek ini akan melibatkan Kementerian Keuangan, yang bertindak sebagai otoritas nasional yang ditunjuk untuk Dana Iklim Hijau. Mereka akan menyetujui No Objection Letter (NOL) untuk proposal proyek GCF yang spesifik untuk negara dari Indonesia.
Baca juga: Menkes: Perubahan iklim perlu diantisipasi guna cegah risiko pandemi
Baca juga: Indonesia-UNDP kembangkan peta jalan dekarbonisasi sektor pariwisata
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024