Manado (ANTARA News) - PT Newmont Minahasa Raya (NMR) tidak pernah mendapatkan izin resmi pembuangan limbah tailing dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan hanya mendapatkan surat biasa atas jawaban Study ERA (Ecological Risk Assesment). "Dalam kajian ilmiah hukum administrasi bahwa surat disampaikan KLH kepada PT NMR bersifat jawaban dan bukan izin untuk melakukan operasi pembuangan limbah," kata Dr Asep Yusuf, saksi ahli pada sidang dugaan pencemaran laut di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), di Pengadilan Negeri Manado (PN) Jumat. Dihadapan Ketua Majelis Hakim PN Manado, Ridwan Damanik SH, guru besar Universitas Katolik Parahyangan itu, mengatakan, surat biasa dari KLH No. B/1456/Bapedal/07/2000, ditujukan untuk merespon surat PT NMR dalam rangka permohonan pembuangan limbah. "Isi surat dari KLH hanya meminta surat permohonan PT NMR dilengkapi dengan baik, termasuk kajian-kajiannya," ujar ahli Hukum Administrasi Indonesia itu. Dalam kajian saksi ahli itu, bahwa surat resmi harus ditandatangani Menteri LH yang waktu itu dijabat Sonny Keraf dengan tembusan instansi verstikal dan sebagainya. "Tapi pada kenyataanya surat biasa itu sudah dianggap surat resmi dengan melakukan operasi atau pembuangan limbah beracun," ujar Asep. Kuasa hukum PT NMR, Luhut Pangaribuan SH, menilai masalah perijinan yang ditinjau sudut pandang ilmu hukum administrasi oleh saksi tersebut bertentangan dengan kesaksian fakta Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya, Sonny Keraf, bahwa surat itu merupakan surat ijin dari kantornya untuk memberikan keleluasaan PT NMR membuang tailing di dasar laut. Pernyataan saksi ahli sangat tidak mendasar dengan dakwaan JPU yang menyebutkan PT NMR telah melampaui standar baku mutu yang tercantum dalam surat KLH No. B/1456/Bapedal/07/2000 yang hanya dianggap surat biasa. "Kenapa klien kami (PT NMR) harus didakwa dengan surat itu padahal hanya dianggap biasa oleh saksi ahli," ujar Pangaribuan. Terdakwa I, PT NMR diwakilkan Presiden Direktur (Presdir) RB alias Ness, menilai persidangan tersebut jelas terlihat bahwa laporan tim KLH tidak memiliki kredibilitas dan perlu dicabut JPU ketika dijadikan barang bukti. "Kami yakin sekali tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran pidana selama melakukan operasi tambang di Ratatotok," ujar Ness. Pada sidang itu, sebelumnya juga telah didengarkan saksi tambahan diluar Berita Acara Pemeriksanaan (BAP), saksi ahli Prof Yayat Dhahiyat PhD, pakar bidang Biologi Kelautan, Universitas Padjajaran Bandung. Sidang selanjutnya akan digelar tanggal 1 September 2006, dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Terdakwa pertama PT NMR dan terdakwa II, Ness secara pribadi, didakwa secara formil dan materil melanggar pasal 143 dan 156 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dakwaan primair pasal 41 ayat (1) jo pasal 45, pasal 46 ayat (1) jo pasal 45 dan pasal 47 UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006