Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia perlu meninjau kembali klausul tentang hukuman, demikian disampaikan ahli hukum Dr Todung Mulya Lubis, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat. Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengn rencana eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati di Indonesia yang telah mendapat keputusan hukum tetap, termasuk dalam kasus Poso, yaitu Tibo Cs dan terpidana kasus bom Bali Amrozi Cs. Mulya Lubis berpendapat hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin dalam UUD 1945. "Perlunya penghapusan hukuman mati ini tidak saja terkait dengan Tibo Cs, namun untuk orang lain," katanya. Untuk menghapus ketentuan hukuman mati, kata Mulya Lubis, diperlukan moratorium agar mengganti hukuman maksimal, yaitu hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara. Menurut dia, negara lain mulai melakukan kajian untuk menghapus hukuman mati. Malaysia juga sedang mengkaji hal itu. Dengan demikian, desakan penghapusan hukuman mati bukan lagi monopoli Amerika Serikat dengan Uni Eropa. "Kita tidak menolak hukuman maksimal seumur hidup, misalnya, asalkan jangan hukuman mati," katanya. Ketua Fraksi PDS DPR, Constant Ponggawa, menilai ironis apabila Indonesia masih menerapkan hukuman mati, karena Indonesia adalah pemimpin Dewan HAM PBB. Anggota Fraksi PDS DPR Ratna Situmorang mengungkapkan pihaknya telah menemui terpidana mati Tibo Cs. Kasus itu sebaiknya tidak berhenti pada Tibo, namun juga pihak lain yang diduga terkait kasus Poso. Karena itu, PDS mengusulkan agar kasus ini diusut lebih lanjut. Wakil Ketua Fraksi PDIP DPR Gayus Lumbuun mengingatkan pemerintah bahwa sampai saat ini banyak pihak yang menginginkan agar kasus itu diusut lagi. Bahkan ada anggota Kongres AS dan Uni Eropa yang menginginkan agar kasus tersebut diusut tuntas, tidak berhenti pada Tibo Cs. (*)
Copyright © ANTARA 2006