Stagnansi harga Bitcoin setelah halving bisa dianggap sebagai fenomena yang wajar.

Jakarta (ANTARA) - Analis kripto Tokocrypto Fyqieh Fachrur menilai belum adanya sinyal kuat dari Bank Sentral AS (The Fed) untuk menurunkan suku bunga menjadi alasan utama harga Bitcoin (BTC) cenderung stagnan pasca halving.

Melihat kenaikan harga BTC pasca halving tahun 2020, saat itu The Fed memiliki kebijakan moneter yang cukup longgar dengan suku bunga yang relatif rendah.

"Stagnansi harga Bitcoin setelah halving bisa dianggap sebagai fenomena yang wajar. Banyak yang mengharapkan kenaikan harga yang signifikan setelah halving, padahal efek dari halving ini sebenarnya dirasakan dalam 2-4 bulan setelahnya,” kata Fyqieh dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.

Fyqieh mengatakan, bagi yang masih ragu atau tidak yakin dengan arah pergerakan harga BTC, bisa memilih menggunakan teknik Dollar Cost Averaging (DCA), mengingat ketidakpastian di pasar akhir-akhir ini yang bisa saja BTC berpotensi bullish atau bearish.

Ia memperkirakan harga maksimum BTC yang masih memiliki peluang untuk dicapai oleh BTC hingga akhir tahun ini adalah sekitar 100.000 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp1,6 miliar. Namun, pencapaian ini juga bergantung pada sentimen pasar serta potensi permintaan besar dari institusi.

Fyqieh menjelaskan, sepekan pasca halving pada 20 April lalu, BTC masih dalam tekanan dan sentimen negatif.

Selain penantian akan keputusan The Fed, beberapa faktor lain turut berkontribusi terhadap kinerja negatif tersebut, termasuk antisipasi laporan pendapatan kuartal perusahaan teknologi di AS hingga konflik Israel-Iran.

Kinerja negatif BTC pada pekan ini berkaitan dengan koreksi pasar saham AS, meningkatnya krisis di Timur Tengah, dan berkurangnya kepercayaan terhadap perekonomian China.

Selain itu, tingkat pendanaan yang berubah menjadi negatif untuk pertama kalinya tahun ini, tepat sebelum peristiwa halving baru-baru ini.

“Tingkat pendanaan negatif menunjukkan bahwa sentimen pasar telah berubah ke arah bearish ketika posisi short lebih besar daripada posisi long," ujar Fyqieh.

Lebih lanjut, siklus halving pada tahun ini akan sedikit berbeda dibandingkan peristiwa sebelumnya. Sejauh ini, sudah terjadi empat kali halving BTC, pada tanggal 20 April, sebelumnya terjadi pada 11 Mei 2020, 9 Juli 2016 dan 28 November 2012.

Halving kali ini mengakibatkan penurunan imbalan penambangan BTC sebesar 50 persen, dari 6,25 BTC menjadi 3,125 BTC.

Akibatnya, jumlah BTC yang beredar semakin langka, sehingga menyebabkan lonjakan permintaan di kalangan investor. Hal ini terutama karena persediaan BTC terbatas, dengan hanya maksimal 21 juta koin yang beredar selamanya.

"Pergerakan harga Bitcoin akan sedikit berbeda setelah halving tahun ini, karena BTC telah mengalami lonjakan yang cukup besar, dan bahkan mencapai rekor tertinggi baru sebelum halving itu sendiri. Oleh karena itu, seluruh siklus harga yang biasanya mengelilingi peristiwa ini tampaknya menjadi lebih terkompresi," ujarnya pula.
Baca juga: Indodax: Asia Tenggara berpotensi jadi 'key leader' industri kripto
Baca juga: Bittime resmi peroleh izin staking aset kripto dari Bappebti

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024