Temuan Inventarisasi Global (Global Stocktake) pertama di COP 28 yang menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9 gigaton setara karbon dioksida, harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi di 2030 yang

Jakarta (ANTARA) - Lembaga think-thank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target pada dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (SNDC) yang sedang disusun pemerintah, harus lebih ambisius agar selaras dengan komitmen dalam Perjanjian Paris.

“Temuan Inventarisasi Global (Global Stocktake) pertama di COP 28 yang menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9 gigaton setara karbon dioksida, harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi di 2030 yang lebih ambisius,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Menurut Fabby, berbeda dengan dokumen Peningkatan Target NDC (Enhanced NDC) pada 2022, penetapan target penurunan emisi pada dokumen SNDC tidak akan lagi diukur berdasarkan penurunan emisi dari skenario pertumbuhan dasar (business as usual). SNDC akan membandingkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terhadap tahun rujukan (reference year) 2019, yang berbasis inventarisasi GRK.

Baca juga: PLN Indonesia Power dukung target NDC melalui perdagangan karbon

Metode penetapan emisi ini dinilai akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43 persen pada 2030 dibandingkan emisi pada 2019.

Menurut Fabby, pemutakhiran skenario yang tidak lagi berdasar pada business as usual dan beralih ke skenario yang mengacu pada reduksi emisi historis sebagai rujukan penetapan target, merupakan langkah maju. Pendekatan ini sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan IESR pada 2023.

Menurut dia, salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di SNDC berasal dari peningkatan bauran energi terbarukan. Agar selaras dengan upaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celcius sesuai komitmen Perjanjian Paris, maka bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai 55 persen di 2030.

Koordinator Kebijakan Iklim IESR Delima Ramadhani menyampaikan bahwa proyeksi emisi terbaru oleh Climate Action Tracker (CAT) terhadap Enhanced NDC menunjukan kenaikan emisi hingga 1,7- 1,8 giga ton setara karbon dioksida pada 2030.

Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius atau 970-1.060 juta ton setara karbon dioksida untuk target di bawah 2 derajat Celcius.

“Pemerintah perlu memasukkan aspek keadilan (fairness) dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam SNDC ini dinilai sebagai bagian yang adil (fairshare) dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global. Dengan demikian, dapat terlihat apabila SNDC sudah mencerminkan ‘ambisi tertinggi paling memungkinkan’ (highest possible ambition) dalam pengurangan emisi,” kata dia.

Baca juga: Siapkan Second NDC, Indonesia perkuat komitmen atasi dampak perubahan iklim

IESR juga menyoroti perlunya penekanan aspek keadilan dan tata kelola yang baik pada dokumen SNDC. Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tercermin pada proses penyusunan SNDC yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri dan partisipasi publik.

Pemerintah Indonesia merencanakan untuk menyampaikan Second NDC pada Agustus 2024. Berdasarkan mandat Perjanjian Paris setiap negara harus menyampaikan Second NDC paling lambat bulan Maret 2025. Namun Indonesia merencanakan untuk menyampaikannya lebih awal pada Agustus 2024.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024