Turis tidak banyak mengunjungi area sekitar Borobudur sehingga masyarakat setempat tidak banyak mendapat manfaat ekonomi,"

Jakarta (ANTARA News) - Turis asing yang berkunjung ke tempat wisata di Indonesia, modalnya Borobudur, kerap punya pengalaman mengesalkan karena bertemu penduduk setempat yang menjual pernak-pernik dengan cara memaksa.

Hal itu terjadi karena masyarakat sekitar objek wisata tidak merasakan dampak positif secara ekonomi, ujar Kepala Unit Kebudayaan UNESCO Office Jakarta Masanori Nagaoka dalam seminar internasional Pekan Produk Kreatif Indonesia 2013, Sabtu.

"Turis tidak banyak mengunjungi area sekitar Borobudur sehingga masyarakat setempat tidak banyak mendapat manfaat ekonomi," paparnya.

Dari data UNESCO tahun lalu, ada tiga juta turis mengunjungi Borobudur dalam setahun. Namun, 80 persen dari mereka tidak tahu apapun soal kawasan sekitar Borobudur.

Pasalnya, sebagian besar pengunjung Borobudur memang hanya mampir sejenak. Kebanyakan menghabiskan waktu dalam waktu singkat, satu hingga tiga jam. Setelahnya, mereka biasa bertolak ke daerah Yogyakarta. Hanya dua persen yang memilih untuk menyusuri tempat sekitar Borobudur.

Dia menjelaskan, potensi kekayaan budaya dan alam di sekitar Borobudur sebaiknya digarap dengan baik agar masyarakat lokal sejahtera.

"45 persen penduduk sekitar mendapat penghasilan Rp500.000--Rp1 juta per bulan, bahkan 33 persen berpenghasilan di bawah Rp500.000 per bulan," kata dia.

Bila hal tersebut dibiarkan, ada kemungkinan masa depan pariwisata Borobudur menjadi suram.

"Karena akan terjadi siklus berulang, masyarakat memperlakukan turis dengan cara tidak menyenangkan seperti jualan paksa, bila dibeli ternyata barangnya tidak berkualitas, turis akan berpikiran negatif dan reputasi Borobudur menurun, berujung lagi pada berkurangnya pendapatan masyarakat," jelasnya.

Proyek pengembangan yang dapat dilakukan antara lain mengembangkan industri keramik yang sudah ada, mengolah kekayaan buah-buahan menjadi produk lain seperti selai, serta membuat galeri berisi produk lokal di Karanganyar yang dapat ditempuh dengan transportasi berupa andong atau sepeda.(*)

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013