Jakarta (ANTARA News) - Pembentukan pasar bebas ASEAN pada 2015 dinilai pengamat masih sulit diterapkan karena dibutuhkan mobilitas barang, jasa, modal dan sumber daya manusia yang handal.
"Saat ini untuk mencapai tingkat mobilitas barang yang tinggi masih amat sulit. Apalagi, di sektor jasa dan keuangan," kata Kiki Verico, peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI), di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, tingkat mobilitas itu baru bisa tercapai ketika berbagai hambatan yang ada di tiap negara ASEAN dapat dihilangkan, seperti pada masalah regulasi dan kebijakan yang semakin menaikkan biaya produksi.
Untuk membentuk pasar bebas, kata Verico, "ASEAN juga membutuhkan pemimpin untuk mewujudkan hal ini. Indonesia sebenarnya yang paling diharapkan untuk menjadi pemimpin, karena Indonesia negara yang besar, walaupun secara ekonomi jauh tertinggal dengan Singapura."
Sementara itu, Singapura sulit diharapkan menjadi pemimpin dalam pasar tunggal ASEAN ini karena lebih berfungsi sebagai negara pedagang, yang tanpa ASEAN pun dapat mempertahankan tingkat ekonominya dalam level yang bersaing.
Dia mencontohkan Jerman yang dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) mau memimpin, sekaligus penjamin bagi masyarakat Eropa tersebut.
Verico juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pasar bebas ASEAN yang rencananya akan dibentuk pada 2015 baru sebatas wacana karena lebih sering dibicarakan kalangan akademisi ataupun peneliti.
"ASEAN sangat percaya diri dengan `ASEAN way` nya. Mereka merasa bisa membentuk sebuah masyarakat ekonomi ASEAN dengan caranya. Padahal, ASEAN baru dapat maju jika bersatu dan mampu saling melengkapi karena masing-masing memiliki kelebihan," katanya.
Seharusnya, menurut dia, pembicaraan mengenai pasar bebas ASEAN ini berada pada tingkat pengusaha, konsumen ataupun dalam sektor riil. Mereka yang akan menjalani pasar bebas ini, katanya.
Masalahnya, menurut dia, untuk mencapai sebuah kondisi pasar bebas (common market), setiap negara di ASEAN harus memiliki kebijakan moneter ataupun regulasi yang sama terutama dalam masalah bea cukai.
Sementara itu, peneliti dan pengajar pada LPEM FEUI, Akhmad Bayhaqi, mengatakan pasar bebas ASEAN, jika benar diterapkan tahun 2015, akan membuat banyak produsen domestik yang menderita. Mereka belum siap menghadapi persaingan dengan negara anggota ASEAN lainnya, terutama Singapura.
"Secara kualitas produk kita tidak tertinggal dengan negara lain, hanya masalah harga yang membuat produk Indonesia sulit bersaing karena relatif mahal," katanya.
Menurut dia, yang paling diuntungkan dari pasar bebas ini adalah konsumen karena memiliki banyak pilihan serta mendapatkan harga murah.
Tetapi kedua peneliti itu, melihat pasar bebas ASEAN ini memiliki keuntungan jangka panjang yang amat baik bagi iklim ekonomi di Indonesia.
"Dunia usaha amat membutuhkan persaingan supaya dapat terus berkembang. Dengan adanya pasar bebas ini, pengusaha yang memiliki keunggulan akan tetap bertahan, sementara yang buruk akan semakin terpuruk," kata Kiki Verico.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006