Risiko iklim seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor dipicu oleh pola curah hujan dan cuaca ekstrem
Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai sistem informasi hidrometeorologi Indonesia layak menjadi percontohan untuk diadopsi negara peserta World Water Forum (WWF) 2024.
“Sistem informasi hidrometeorologi -SIH3- yang dikembangkan sejak tahun 2012 oleh BMKG dengan Kementerian PU dan Kementerian ESDM itu membantu memaksimalkan ketersampaian peringatan dini bencana kepada publik,” kata Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan BMKG Marjuki di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, sistem tersebut merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kebijakan pengurangan dan pengelolaan risiko bencana karena dihasilkan dari kemudaan akses terhadap data dan informasi.
Sebagai contoh, pada periode 11-20 April lalu pemerintah melalui BMKG mampu mendeteksi awal musim dan deret hari tanpa hujan (HTH) di seluruh wilayah Indonesia, dan menjadi acuan untuk pencegahan kekeringan lahan pertanian, kelangkaan air, dan kebakaran hutan/lahan.
Hal ini terjadi karena SIH3 mengintegrasikan data dan analisis terkait air, cuaca, dan geologi (air tanah) untuk memahami dan mengelola sumber daya air serta risiko yang tak hanya terkait kekeringan, tapi juga banjir, dan bencana alam lainnya.
“Risiko iklim seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor dipicu oleh pola curah hujan dan cuaca ekstrem. Risiko ini menimbulkan tantangan yang signifikan bagi masyarakat yang telah diprakirakan per 10 harian bahkan tiga jam sebelumnya,” katanya.
Karena itu, BMKG menilai pengembangan dan penyediaan layanan informasi hidro-iklim sangat penting untuk mengurangi risiko dan mendukung perencanaan serta pengelolaan adaptif.
Baca juga: Jelang WWF, KLHK paparkan awasi kualitas air di 15 ribu titik pantau
Baca juga: Indonesia optimistis WWF Ke-10 lahirkan konsensus politik atasi krisis
Pemanfaatan teknologi demikian pun sejalan dengan misi WWF ke-10, pada 18-25 Mei 2024 di Bali, yang menyangkut mitigasi perubahan iklim dan menghapus kesenjangan antara tantangan dan kapasitas masing-masing negara dalam hal pengelolaan sumber daya air, iklim, pangan, energi, dan kesehatan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, kesenjangan terjadi karena kemampuan setiap negara terhadap sains dan teknologi berbeda-beda, bahkan beberapa masih tertinggal, inilah yang menjadikan kesenjangan itu semakin kompleks dan rumit.
“Melalui pemanfaatan teknologi saat ini kita bisa mengakhirinya, dan bersiap mengatasi krisis iklim secara bersama-sama,” katanya.
Sebagai informasi, World Water Forum Ke-10 memiliki tema "Water for Shared Prosperity" yang diterjemahkan ke dalam enam subtema yang dibahas, di antaranya water for human and nature, water security and prosperity, disaster risk reduction and management, governance cooperation and hydro diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge and innovation.
Dalam forum tersebut, Indonesia nantinya membuka ruang diskusi antarpemangku kepentingan yang berasal dari sejumlah kawasan, yakni Mediterania, Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika bersama negara-negara anggota World Water Council mencari berbagai mekanisme dan pendekatan untuk menyelesaikan isu yang berkaitan dengan air.
Baca juga: RI tawarkan proyek irigasi hingga PLTA dalam World Water Forum di Bali
Baca juga: Indonesia usulkan 'Centre of Excellence' jadi solusi masalah iklim
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024