Hefei (ANTARA) - Bagi banyak petani teh di Desa Wugongling di China timur, April merupakan masa panen.
Pukul 04.30 waktu setempat, Fang Dongyu (70) sudah bangun. Dengan keranjang bambu tersampir di bahunya, Fang menyalakan lampu di kepalanya, dan dengan lancar menaiki tangga batu yang basah untuk memetik daun teh.
"Kami biasanya selesai memetik daun pada pukul 16.00, kemudian menjualnya ke pabrik-pabrik teh yang berada di kaki gunung," ujar Fang. Dirinya bercerita bahwa keluarganya memiliki kebun teh seluas 9 mu (1 mu = 0,06 hektare) yang dapat menghasilkan pendapatan lebih dari 10.000 yuan (1 yuan = Rp2.239) dalam satu musim.
Ini adalah Desa Wugongling di wilayah Shexian, Provinsi Anhui, China timur. Sulit membayangkan bahwa kebun teh terasering khusus itu terletak di ketinggian lebih dari 800 meter, dan dulunya merupakan lereng gunung yang terjal dan tandus. Untuk mengubah lebih dari 1.000 mu lereng bukit yang curam menjadi kebun teh terasering pada 1960-an, dibutuhkan keterlibatan lebih dari 400 warga desa selama 13 tahun untuk merampungkannya.
Pada 2023, sistem terasering perkebunan teh dimasukkan dalam "Batch Ketujuh Sistem Warisan Pertanian Penting Nasional China".
Menengok kembali ke tahun 1960-an ketika program transformasi baru saja dimulai, Fang masih dapat mengingat banyak detailnya. "Saat itu saya baru berusia 13 atau 14 tahun. Kami membentuk 'tim komando wanita' untuk mengebor lubang, meledakkan gunung, dan mengangkut bebatuan," katanya, seraya menambahkan bahwa semua warga desa ingin membuat perubahan di gunung tandus tersebut.
"Tanamlah tanaman dan pohon teh meski di pegunungan tandus". Slogan kala itu masih terpampang di tebing tersebut. Namun tidak mudah untuk mengubah lereng dengan kemiringan lebih dari 40 derajat dan lebih rendah dari 70 derajat. Lahan terasering pertama, yang luasnya lebih dari 10 mu, tersapu air setelah hujan deras.
"Pada awalnya, desa tersebut menginginkan kebun teh terasering menjadi datar dan indah, namun hal itu sebenarnya tidak sesuai dengan hukum alam," ujar Fang Jincai, sekretaris Partai di Desa Wugongling, seraya menyebutkan bahwa setelah penyelidikan lapangan dan analisis kondisi alam, warga desa memutuskan untuk membangun kebun dan sistem drainase sesuai dengan kondisi medan dan hidrolik yang sebenarnya.
Setelah hujan ringan di musim semi, terasering dipenuhi kabut tipis, bagaikan surga di bumi. Menurut Fang Peiming, wakil direktur biro pertanian dan urusan pedesaan wilayah Shexian, penyesuaian dengan kondisi setempatlah yang menjadikan kebun teh terasering ini begitu istimewa.
Di berbagai area gunung, beragam kegiatan pertanian digelar. Di antara beberapa pohon teh terdapat bunga rapa yang sedang bermekaran. Menurut warga desa setempat, karena pohon-pohon teh lebih menyukai lingkungan dengan naungan dan sinar matahari yang baik, maka menanam bunga rapa, kastanye, dan pohon atau tanaman lainnya di kebun teh tidak hanya dapat meningkatkan kualitas daun teh, tetapi juga memperkaya keanekaragaman hayati pertanian.
"Di wilayah Shexian yang bergunung-gunung, metode penanaman semacam itu adalah cara terbaik bagi warga desa setempat untuk memanfaatkan sepenuhnya lahan mereka. Metode produksi yang intensif dan efisien tersebut memiliki nilai sejarah maupun kemanusiaan," ujar Fang Peiming. Lebih lanjut dia menambahkan bahwa dengan berkembangnya industri pariwisata pertanian pedesaan, pemandangan unik itu juga telah menarik wisatawan, dan kini menjadi bagian penting dari perekonomian pedesaan setempat.
Di Desa Wugongling saat ini, infrastrukturnya semakin membaik, dan mode bisnisnya juga berubah. Selama beberapa tahun terakhir, desa tersebut telah mereorganisasi petani untuk melakukan percontohan pembangunan kebun teh organik ekologis hijau.
"Kami menjamin kualitas teh yang terkontrol melalui pemupukan terpadu, pengendalian gulma, dan pendekatan terpadu lainnya agar dapat memberikan manfaat lebih bagi penduduk desa," imbuh Fang Peiming.
Pewarta: Xinhua
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2024