Peningkatan BI rate yang dilakukan bertahap dari 5,75 persen pada Mei 2013 hingga ke level 7,5 persen sejak pertengahan November 2013, belum menunjukkan efektivitasnya dalam meredam depresiasi rupiah,"Jakarta (ANTARA News) - Ekonom dari Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) Adler H Manurung menilai kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan (BI rate) hingga 175 basis poin dalam enam bulan terakhir belum mampu meredam depresiasi rupiah maupun inflasi.
"Peningkatan BI rate yang dilakukan bertahap dari 5,75 persen pada Mei 2013 hingga ke level 7,5 persen sejak pertengahan November 2013, belum menunjukkan efektivitasnya dalam meredam depresiasi rupiah," kata Adler dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu.
Menurut Adler, tidak efektifnya kebijakan tersebut terlihat khususnya setelah kenaikan upah minimum regional di beberapa daerah di Indonesia sejak Oktober 2013.
Rupiah sendiri saat ini masih bercokol di level Rp11.700 dalam beberapa hari terakhir. Tekanan inflasi pun turut meningkat dari 5,47 persen (ytd) pada Mei 2013 hingga 8,32 persen (ytd) pada Oktober 2013.
Adler menuturkan, hingga akhir tahun ini, nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada di level Rp11.000-Rp12.000. Untuk berada di batas bawah, menurutnya perlu ada kebijakan efektif dari Bank Indonesia.
"Level rupiah kita tidak mungkin lari di bawah Rp11.000, harus ada kebijakan yang ampuh supaya di bawah itu," ujarnya.
Adler juga menduga ada peran asing yang bermain dan berkontribusi terhadap pelemahan rupiah, khususnya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI).
"Dugaan sementara saya SBI itu banyak dimiliki asing, karena data itu kita tidak punya. Dengan begitu, berarti BI harus bayar bunga kepada asing-asing dalam bentuk valas," kata Adler.(*)
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013