... transisi energi bukan hanya tentang 'angka-angka ambisius', melainkan juga tentang memastikan kesetaraan dan keadilan.
Abu Dhabi (ANTARA) - Di bawah cuaca hangat Pulau Saadiyat, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, yang dikelilingi pantai berpasir putih dan keindahan birunya laut, para menteri energi dunia berkumpul di Sidang Umum Ke-14 Badan Energi Terbarukan Internasional untuk mengeksplorasi prioritas-prioritas transisi energi global.
Transisi energi mendapatkan momentum besar saat ini di dunia. Kepadanya, disematkan “target-target ambisius” demi menyelamatkan Bumi.
Dunia tak bisa menafikan bahwa saat ini kualitas lingkungan kian memburuk akibat penggunaan masif energi fosil menjadi andalan banyak negara sekian lama untuk mengeruk pundi-pundi pendapatan.
Sejak 2015, negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) terikat dengan Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk menjaga peningkatan suhu Bumi agar tak melebihi 1,5 derajat celsius pada 2030.
Setiap tahun para pemimpin dunia berkumpul di Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) untuk melakukan peninjauan terkait progres yang dihasilkan dari UNFCCC itu. Agenda utama dalam COP adalah membahas kemajuan setiap negara terkait komitmen penurunan emisinya yang tercakup dalam target kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC).
Dalam pelaksanaan KTT COP 28 yang dinilai bersejarah di Dubai, Uni Emirat Arab, November 2023, dunia mengakui komitmen penting untuk peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan dan dua kali efisiensi energi hingga 2030.
Peningkatan kapasitas energi terbarukan global dan efisiensi energi itu diperlukan untuk menjaga skenario agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celcius.
Hingga 2023, menurut laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), pencapaian kapasitas energi terbarukan global belum sejalan dengan target hingga 2030 yang sebesar 11.000 GW atau 11 TW.
Bahkan pada 2023, penambahan kapasitas energi terbarukan global tidak mencapai setengah dari target setiap tahun atau hanya 473 GW. Meskipun meningkat dibanding 2022 yang penambahannya sekitar 300 GW, jumlah 473 GW belum mencapai setengah dari target tahunan penambahan energi terbarukan sebesar 1.100 GW. Artinya kesempatan makin sempit dari sisa 6 tahun lagi sehingga upaya yang dilakukan harus lebih agresif.
Oleh karena itu, dalam Sidang Majelis Umum ke-14 IRENA 16-18 April 2024, Direktur Jenderal IRENA Fransesco La Camera menekankan perlunya langkah-langkah segera agar kapasitas energi terbarukan dapat meningkat signifikan.
Dalam pengembangan energi terbarukan saat ini, dua hal krusial adalah pendanaan dan teknologi. Infrastruktur dan teknologi penting untuk modernisasi pembangkit energi yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, pun memiliki kemampuan resiliensi terhadap tantangan alam dan memberikan keselamatan kepada manusia.
Selain soal teknologi dan infrastruktur, kata La Camera, tantangan juga tidak hanya menyangkut penambahan kapasitas energi terbarukan yang belum sesuai target, namun juga terkait dengan penyebaran distribusi energi terbarukan yang tidak merata.
IRENA mencatat pada 2023, penambahan kapasitas energi terbarukan memberikan 83 persen dari total porsinya di China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Hal ini memperlihatkan ketertinggalan negara-negara berkembang padahal kelompok ini membutuhkan pembangunan yang teramat besar untuk transisi energi.
Karena itu, Presiden Sidang Umum Majelis ke-14 IRENA yang juga Menteri Infrastruktur Rwanda Jimmy Gasore menekankan transisi energi global sepatutnya dipahami bukan sebagai perubahan teknologi dan infrastruktur saja, tetapi juga tentang memastikan kesetaraan dan keadilan.
Kontribusi lebih negara maju
Indonesia menghadiri Sidang Majelis Umum ke-14 IRENA dengan misi agar dunia melakukan pendekatan yang lebih adil dalam transisi energi dan pengembangan energi terbarukan.
Negara-negara maju, dalam berbagai forum dan laporan, dinilai sebagai penyumbang emisi terbesar, sementara negara yang merasakan dampak langsung dari perubahan iklim adalah negara-negara berkembang dan kepulauan kecil.
Negara maju seperti Amerika Serikat, China, Rusia, juga lebih dulu melakukan kegiatan yang menyumbang pada pemanasan global dan lebih mampu secara finansial.
Maka itu, negara berkembang perlu terus menyuarakan perlunya peningkatan ekosistem pendanaan transisi di level global sebagai upaya pendekatan yang lebih adil.
Dalam sesi intervensi di diskusi panel sidang umum IRENA, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM RI Dadan Kusdiana menyuarakan, agar negara-negara maju berkontribusi lebih banyak untuk mendukung negara berkembang dalam pengembangan energi terbarukan.
Indonesia meminta negara maju untuk menciptakan teknologi bersih, mengalirkan pendanaan hijau dan murah, menerapkan pertukaran pengetahuan dalam bidang energi terbarukan, dan memastikan proses transisi energi global berjalan adil.
Indonesia berpegangan pada Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC), di mana pengurangan emisi karbon ditargetkan secara total 32 persen atau 912 juta ton CO2 pada 2030. Indonesia juga terus mengakselerasi program transisi energi dengan target mencapai nol emisi pada 2060 atau lebih awal.
Indonesia menjanjikan pengembangan dan penggunaan mineral kritikal dilakukan dengan mengedepankan energi bersih.
Sebelum menghadiri sesi sidang umum itu, Dadan sempat menyindir bahwa seharusnya negara berkembang didukung penuh untuk percepatan pengembangan energi baru terbarukan, bukan malah ditambahkan tanggung jawab yang semestinya diemban negara maju.
Dadan menyebut Indonesia tidak ingin terjebak dalam angka-angka yang justeru membuat program transisi energi menjadi tidak fleksibel bagi sejumlah negara. Namun Indonesia memiliki komitmen sangat kuat untuk mencapai emisi nol pada 2060 atau lebih cepat dan target-target pada E-NDC.
Ia menekankan bahwa upaya penurunan emisi, dan penurunan gas rumah kaca adalah tanggung jawab semua pihak. Namun, target global semestinya tidak mengatur pencapaian negara demi negara karena masing-masing negara memiliki keperluan dan kemampuan terkait situasi domestik. Terlebih, target global tersebut tidak boleh membuat suatu negara menjadi tidak fleksibel.
Menurut Indonesia, untuk mempercepat, memperluas, dan meningkatkan kapasitas energi baru terbarukan, perlu sesuai dengan keperluan dan sesuai dengan kemampuan. Pun, pemanfaatan energi baru terbarukan diupayakan tidak mengurangi daya saing.
"Kita berpandangan positif bahwa energi terbarukan itu harus dipercepat. Harus segera diperluas, diperbesarkan, harus besar secara kapasitas sesuai dengan keperluan dan sesuai dengan kemampuan kita. Kita tidak ingin juga bahwa pemanfaatan energi terbarukan itu nanti mengurangi daya saing," ujarnya.
Di tengah kerusakan lingkungan yang sudah dirasakan banyak negara saat ini, transisi energi adalah keniscayaan. Namun, upaya transisi energi global jangan sampai membuat kelompok atau suatu negara tertinggal. Prinsip "no one left behind" perlu diamplifikasi.
Kemitraan dan dukungan global menjadi kunci agar transisi energi efektif bagi semua, serta mampu menjaga keberlanjutan Bumi yang layak bagi anak dan cucu. Maka itu, perlu pengakuan kolektif bahwa transisi energi bukan hanya tentang “angka-angka ambisius”, melainkan juga tentang memastikan kesetaraan dan keadilan.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024