Jakarta (ANTARA News) - Peneliti dari Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (P2K LIPI) merekomendasikan sistem pemilihan umum (pemilu) campuran (mixed system) sebagai yang terbaik untuk Indonesia.
"Pilihan kita jatuh kepada mixed member majoritarian (MMM), 70 persen proporsional dan 30 persen distrik dengan berbagai macam pertimbangan," kata peneliti P2K LIPI, M. Nurhasim di Jakarta, Senin.
Nurhasim mengatakan sejumlah alasan pemilihan sistem campuran ini bagi Indonesia, yakni untuk menjawab sejumlah kegagalan sistem pemilu proporsional yakni lemahnya representasi keterwakilan politik, adanya konvergensi politik akibat terlalu banyaknya partai, pertanggungjawaban anggota DPR yang tidak pernah jelas kepada konstituen dan adanya ketidakadilan konversi suara ke kursi di DPR.
"Secara umum berangkat dari kelemahan sistem proporsional yang kita coba perbaiki," kata peneliti P2K, LIPI, Firman Noor.
Di samping itu, menurutnya sistem campuran memiliki sejumlah kelebihan, yakni adanya efek dual kandidasi dalam perolehan kursi, mendorong partai untuk mengadopsi orang-orang lokal untuk dicalonkan pada distrik agar mereka dapat memenangkan distrik tersebut.
Indonesia, sejak tahun 1955, hingga masa reformasi, terus menerapkan sistem pemilihan umum proporsional. Penerapan sistem campuran ini menurut Nurhasim merupakan upaya untuk menghindari cara-cara yang ekstrim yakni berpindah dengan sistem yang sama sekali bertolak belakang.
"Jadi kalau meninggalkan sistem pemilu yang lama sema sekali, saya kira akan menimbulkan keguncangan," ujar Nurhasim.
Ia dan tim menilai sistem campuran ini sebagai jalan tengah sekaligus sebagai sistem pemilu yang terbaik. Hanya saja, sistem ini digunakan sebatas pada pemilu untuk memilih anggota DPR.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013