... perlu ada kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di institusinya masing-masing sebagai salah satu kontrol bagi pejabat publik di dalamnya.

Semarang (ANTARA) - Kejujuran dan bermoral (berakhlak baik) jangan sampai termarginalkan dengan kepentingan sesaat, termasuk penegakan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilihan umum (pemilu) harus betul-betul menimbulkan efek jera.

Namun, pada kenyataannya terjadi kasus berulang dengan pelaku sama korban berbeda. Ini merupakan kenyataan ironis (bisa dikatakan) bentuk pengabaian nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-1 "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan sila ke-2 "Kemanusiaan yang adil dan beradab".

Jika yakin Tuhan itu ada, jangankan berbuat asusila, berpikir ke arah sana saja tidak berani. Meski orang sekitar tidak tahu apa yang dipikirkan, pasti Tuhan Mahatahu. Implementasi sila ke-1 Pancasila ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu pula keadaban. Janganlah berbuat sesuatu seperti kelakuan orang yang tidak beradab. Akhlak yang baik perlu dikedepankan dalam profesi apa pun, apalagi sebagai penyelenggara pemilu.

Sebagaimana diketahui bahwa konsiderans Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum untuk menjaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilihan umum.

Kehormatan penyelenggara pemilu akan ternodai jika ada oknum, baik dari KPU, Bawaslu, maupun dari DKPP, tidak mematuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

Dalam hal ini, DKPP RI berwenang menjatuhkan sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (vide Pasal 21).

Sanksi terhadap pelanggar bervariasi, mulai sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.

Sesuai dengan ketentuan termaktub dalam Peraturan DKPP RI No. 2/2017, teguran tertulis berupa peringatan atau peringatan keras. Pada ketentuan lain, yang dimaksud pemberhentian tetap, yakni dari jabatan ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota.

Namun, semua kembali pada DKPP RI apakah oknum penyelenggara pemilu yang melakukan perbuatan yang sama dengan korban berbeda bakal menerima sanksi berupa pemberhentian tetap dari jabatan ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota. Apalagi, oknum tersebut pernah mendapat sanksi sebelumnya.

Informasi dari Ketua DKPP RI Heddy Lugito kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (19/4), bahwa laporan mengenai dugaan tindakan asusila dengan teradu Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari sedang dalam verifikasi administrasi. Hingga Jumat pukul 20.00 WIB, persidangan terkait dengan laporan tersebut belum dijadwalkan oleh DKPP RI.

Sebelumnya, Hasyim Asy'ari dilaporkan ke DKPP RI pada hari Kamis (18/4) oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

Kuasa hukum korban Maria Dianita Prosperianti menjelaskan bahwa perbuatan Hasyim Asy'ari sebagai teradu termasuk dalam pelanggaran kode etik berdasarkan Peraturan DKPP No. 2/2017.

Dalam pelaporan kepada pihak DKPP RI, pengadu melampirkan sejumlah bukti yang menunjukkan pelanggaran kode etik oleh Hasyim Asy'ari. Bahkan, pengadu menilai yang bersangkutan mementingkan kepentingan pribadi untuk memuaskan hasrat seksualnya.

Beberapa belasan bukti itu, antara lain, screenshot (tangkapan layar) percakapan, foto, dan video. Bahkan, pengadu menyakini bahwa bukti itu bisa menunjukkan benar-benar yang terstruktur, sistematis, dan aktif.

Di sini, masih kata pengadu, teradu juga memberikan manipulasi informasi serta juga menyebarkan informasi rahasia untuk menunjukkan kekuasaannya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun angkat bicara. Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia Komnas HAM Anis Hidayah dalam diskusi publik daring, Jumat, berharap tidak ada impunitas dalam kasus dugaan tindak asusila tersebut.

Komnas HAM mengajak semua pihak untuk mendorong DKPP RI bekerja secara profesional dan berintegritas dalam menangani laporan tindak asusila dengan teradu Hasyim Asy'ari. Selain itu, DKPP mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai salah satu referensi.

Asas-asas penting dalam penanganan kasus TPKS perlu menjadi pertimbangan substantif bagi DKPP RI dalam memproses kasus tersebut karena mempertimbangkan aduan serupa sebelumnya yang melibatkan Hasyim Asy'ari.

Hal yang patut menjadi perhatian semua pihak, menurut Anis Hidayah, perlu ada kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di institusinya masing-masing sebagai salah satu kontrol bagi pejabat publik di dalamnya.

Pencegahan ini tidak lain untuk mengantisipasi agar tidak menyalahgunakan kewenangan, kekuasaannya untuk melakukan tindakan kekerasan fisik, seksual, dan lain-lain.

Pada kesempatan sama, anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi meminta semua pihak untuk mendukung korban maupun pendamping korban yang melaporkan Hasyim Asy'ari untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Baik Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), maupun Komisi Nasional Disabilitas (KND) sedang membicarakan dan mendiskusikan kasus tersebut.

Kendati demikian, publik jangan terburu-buru "memvonis" bersalah teradu karena kasus dugaan asusila ini masih berproses di DKPP RI.

Asa pun menggantung pada lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu itu. Tentunya DKPP RI dalam menangani perkara itu tetap dalam koridor tata cara pengenaan sanksi sebagaimana peraturan DKPP mengenai pedoman beracara penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.


Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024