Kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, merupakan menara air yang menjaga suplai air bersih sekaligus oksigen bagi masyarakat sekitar.
Kawasan seluas 28.000 hektare yang masih menjadi bagian dari kawasan Pegunungan Schwaner dan Muller itu juga merupakan habitat beberapa flora dan fauna asli Kalimantan.
Berdasarkan pada hasil Ekspedisi Muller tahun 2003 hingga 2005, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan Pegunungan Muller dan Gunung Lumut menjadi warisan alam dan budaya dunia.
LIPI tentu memiliki alasan tersendiri hingga ikut merekomendasikan kawasan Gunung Lumut sebagai warisan budaya dunia, bukan sekedar warisan alam dunia.
Menurut Ladirman, seorang warga Desa Muara Mea yang menganut kepercayaan Kaharingan, Gunung Lumut merupakan gunung sakral bagi penganut Kaharingan.
Penganut Kaharingan percaya gunung itu merupakan tempat bersemayam sementara roh bayangan dari orang-orang yang telah meninggal dunia.
Gunung Lumut juga menjadi tangga bagi roh batin yang telah dipanggil oleh kandong atau belian (pelaku upacara Wara) menuju ke surga.
Ladirman lantas menjelaskan bahwa penganut Kaharingan percaya adanya tiga roh pada manusia.
Roh pertama adalah roh batin atau yang mereka sebut roh juus yang merupakan kepunyaan Yang Maha Esa.
Roh kedua adalah roh bayangan yang biasa mereka sebut roh sensinu, yang harus diantarkan ke Gunung Lumut ketika seseorang meninggal dunia.
Dan roh ketiga adalah roh tubuh atau yang mereka sebut roh unu yang diantarkan ke Bumi atau dikuburkan ketika orang meninggal.
Kepala Adat Desa Muara Mea, Mantung, mengatakan puncak gunung sakral tersebut tidak dapat didaki karena gunung tersebut tempat para roh berdiam.
Kalau pun ada yang mendaki puncaknya, penduduk desa percaya orang itu tidak akan kembali.
Kematian
Gunung Lumut berhubungan erat dengan kematian.
Penduduk Desa Muara Mea yang 95 persen di antaranya penganut Kaharingan menjalankan prosesi untuk mengantarkan roh bayangan seseorang yang telah meninggal dunia ke Gunung Lumut.
Menurut Ladirman, prosesi penguburan Ngajuru langsung dilaksanakan ketika seseorang meninggal dunia.
Pakaian, bantal, tas, dipan, kasur, dan rambut orang yang meninggal dunia ikut diletakkan atau digantungkan di kuburan yang berbentuk rumah kecil bertiang empat.
Prosesi itu kemudian dilanjutkan dengan Nuru, yang dilaksanakan selama tujuh hari.
Pada hari ketujuh seorang kandong atau belian akan mengantarkan roh bayangan ke Gunung Lumut dengan melafalkan mantra-mantra.
"Belian juga yang akan menentukan tempat mana yang tepat untuk roh bayangan tersebut," lanjut Laderman.
Menurut dia, bagian puncak Gunung Lumut hanya diperuntukkan bagi roh bayangan yang suci, roh orang yang hanya sedikit melakukan kesalahan dalam hidupnya.
Sedangkan roh bayangan dari orang-orang jahat akan ditempatkan di "kamar" yang berbeda di kaki gunung tersebut.
Prosesi kematian bagi penganut Kaharingan ini akan ditutup dengan prosesi Wara yang dilakukan ketika keluarga orang yang meninggal dunia telah siap secara ekonomi.
"Upacara Wara selalu dilakukan meski terkadang dilakukan setelah 20 atau 30 tahun meninggal, semua tergantung kemampuan dari keluarga yang ditinggalkan," ujar Laderman.
Upacara Wara, menurut dia, biasanya dilaksanakan dalam tiga hari, lima hari, tujuh hari, atau paling lama di lakukan selama 2x7 hari.
Keluarga yang melaksanakan Wara hingga tiga atau lima hari hanya akan menyembelih ayam dan babi, sementara prosesi yang dilaksanakan hingga tujuh hari akan menyembelih ayam, babi, hingga kerbau.
Kerbau akan ditusuk oleh perwakilan tamu yang hadir pada prosesi Wara pada hari ketujuh dan akan diikat dengan rotan pada pahatan kayu ulin bernama Patugur atau Belontang.
"Kalau sampai hari ketujuh dan menusuk kerbau berarti sampai mengangkat tulang," ujar dia.
Pada prosesi Wara tulang yang diangkat dari kubur akan ditempatkan di Sandong (kotak persegi panjang dari kayu ulin yang diukir), tidak seperti di Tana Toraja, tempat tulang orang yang telah meninggal ditempatkan di peti dan diletakkan di dinding curam sebuah bukit.
"Sandong ini yang sekarang sering dicuri, dibawa ke Bali," ujar dia.
Pada malam ketujuh setelah kerbau ditusuk, kandong atau belian pelaku prosesi Wara akan mengantarkan roh menuju ke surga melalui Gunung Lumut.
"Prosesi mengantar roh ini biasanya lama, bisa sampai pagi," katanya.
Upacara Wara tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di Desa Muara Mea penganut Kaharingan saja.
Menurut Damang Syahyuni, yang biasa menjadi kandong atau belian pada prosesi adat Kaharingan, terdapat tiga mata air yang menjadi sumber tiga hulu sungai dari Gunung Lumut sehingga alirannya seolah-olah membentuk sebuah piramida.
Ketiga sungai tersebut yakni Sungai Mea, Sungai Ayoh, Sungai Putuy yang anak sungainya mengalir tidak hanya di Kalimantan Tengah, tetapi juga hingga Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Masyarakat di sepanjang aliran sungai tersebut masih melaksanakan prosesi menghantarkan roh melalui Gunung Lumut.
Ia memang mengatakan hanya prosesi Wara yang berkaitan langsung dengan Gunung Lumut.
Namun pada prosesi adat lainnya seperti prosesi belian untuk menyembuhkan orang sakit terkadang menggunakan kayu yang diambil di Gunung Lumut.
"Kadang memang tidak perlu sampai naik ke gunung karena dari hutan di sekitar sini pun ada. Tapi kalau hutan di sekitar habis untuk perkebunan dan tambang ya habis juga kayu tersebut," ujar dia.
Upacara kematian itu sakral bagi masyarakat Dayak penganut Kaharingan. Upacara itu merupakan bagian dari perjalanan hidup mereka. Begitu pula dengan Gunung Lumut.
Oleh karena itu masyarakat sekitar mengusulkan kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut menjadi taman nasional.
Warga sudah mengusulkan kawasan seluas 28.000 hektare itu menjadi taman nasional sejak 2003, saat Jusuf Kalla masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Kini mereka masih menunggu keputusan Menteri Kehutanan tentang kawasan yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan dan kematian mereka tersebut.
Oleh Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013