Jakarta (ANTARA) - Ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Mohammad Adib Khumaidi mengatakan, pemberian insentif bagi residen program pendidikan dokter spesialis (PPDS) penting guna menangani gangguan mentalnya, supaya kualitas pelayanan mereka juga meningkat.
"Karena residen PPDS juga melakukan pelayanan, maka sudah seharusnya mendapatkan hak untuk mendapatkan insentif. Karena dia melakukan pelayanan. Karena dia sebagai tenaga medis, tenaga kesehatan yang ada di dalam institusi pelayanan tadi yang memberikan pelayanan," ujar Adib dalam Media Briefing Terkait skrining pada PPDS secara daring di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang Pendidikan Dokteran 2013 pasal 31 bahwa para mahasiswa itu berhak memperoleh perlindungan, memperoleh insentif, serta waktu istirahat. Menurutnya, selain proses pendidikan itu sendiri, faktor-faktor lain, seperti kesehatan mental, perlu dipertimbangkan guna memastikan proses pendidikan berjalan lancar.
Adib melanjutkan, dalam sebuah penelitian pada tahun 2015, prevalensi depresi pada mahasiswa kedokteran adalah 30 persen secara global.
Menurut Adib, insentif penting karena sebagian peserta didik tersebut sudah berkeluarga, sehingga memiliki beban lain berupa tanggung jawab pada keluarga. Oleh karena itu, ujarnya, PB IDI mendorong adanya dukungan finansial guna menangani beban mental para mahasiswa.
"Kalau namanya satu faktor ini bisa kita selesaikan, itu sangat mendukung upaya untuk mengurangi angka depresi," ujarnya.
Baca juga: FKKMK UGM pastikan perhatikan kesehatan mental calon dokter spesialis
Selain insentif, ujarnya, perlu adanya regulasi mengenai jam kerja guna menjaga kesehatan mental para residen PPDS. Dia menilai, kesehatan mental pada PPDS penting diperhatikan, karena menyangkut keselamatan pasien yang ditangani.
"Ini kita punya kepentingan untuk masalah jam kerja, karena belum ada aturan untuk dokter tenaga kesehatan yang berkaitan dengan ini. Ini akan mempengaruhi juga tadi terkait dengan masalah burn out, depresi tadi itu juga," dia menambahkan.
Dalam kesempatan itu, dia mengatakan, penting bagi Kementerian Kesehatan sebagai pemegang otoritas untuk membuat regulasi guna mengatasi prevalensi depresi tersebut. Sebagai contoh, ujarnya, deteksi dini serta pencegahan.
Mereka juga mendorong pembentukan satuan tugas kesehatan mental dalam masyarakat pendidikan, seperti yang telah dilakukan Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Baca juga: Dekan FKUI: Peserta PPDS junior miliki program lebih berat
Baca juga: PB IDI ingatkan masyarakat untuk jaga kesehatan selama musim pancaroba
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024