Sejak dekade 1980-an saya selalu menyebut pemerintah dan politisi Australia sebagai ausignares. Di awal 90-an, sebagai manager program Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), istilah ini saya pergunakan lagi saat memulangkan kru televisi Australia.
Ausignares adalah gambaran karakter australian (tidak termasuk kaum Aborigin) yang bebal, pongah, dan senang mencuri informasi untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam kerja sama. Yang saya maksudkan dengan Australian adalah masyarakat sebagian terbesar orang Australia yang berasal dari Eropa.
Australia yang dulu bernama New Holland, ditemukan para penjelajah (dan kemudian penjajah) Eropa pada abad ke 17. Tujuh dasawarsa kemudian (1770), Kapten James Cook menyewa daratan pantai timur dan mengklaim sebagai milik Inggris. Cook kemudian membangunnya sebagai koloni untuk menghukum para penjahat dan narapidana Inggris.
Pada 26 Januari 1788 sebanyak 11 kapal merapat di Sydney Harbour. Maka mendaratlah 1.500 orang, yang sebagian besar adalah narapidana. Termasuk penjahat narapidana yang jumlahnya seperlima penjahat lelaki yang hidup di bawa ancaman kekerasan seksual.
Mereka inilah yang merampas tanah penduduk asli benua Australia (kaum Aborigin) dan menindasnya dengan sangat keras. Penderitaan kaum Aborigin kian menjadi - jadi, ketika tahun 1851 ditemukan tambang emas pertama di New South Wales dan Victoria. Lantas mengubah Australia sebagai benua buruan para prospektor dari China.
Australia kemudian menjadi tujuan investasi, terutama setelah peternakan domba berkembang dan menghasilkan wol. Perkembangan itu juga disertai dengan perubahan gaya hidup yang tak lepas dari socio habitus para penjahat : kriminalitas, pelacuran, dan hukum rimba. Mereka baru hidup dengan etika dan adab, di abad 19, bersamaan dengan masuknya imigran dari berbagai belahan dunia.
Lirik tembang Bohemian Rapshody dari The Queen, memberikan gambaran nyata tentang ausignaresma : Open your eyes / Look up to the skies and see / Im just a poor boy, I need no sympathy / Because Im "easy come, easy go / Little high, little low / Any way the wind blows, doesnt really matter to me, to me // Mama, just killed a man / Put a gun against his head / Pulled my trigger, now hes dead // Mama, life had just begun / But now Ive gone and thrown it all away //
Dalam konteks politik, ausignares selalu cenderung mengekspresikan naluri pemberontakan anak keturunan kriminalis yang tak perlu simpati. Keturunan kaum yang mudah datang, mudah pergi, kaum yang sedikit tinggi, sedikit rendah. Kaum yang mudah membunuh dengan pistol menyalak, dan merasa bahagia ketika musuh sudah tewas.
Berulang kali politisi dan pemerintah Australia berulah dan melakukan tindakan bebal terhadap tetangga, bahkan ketika keberadaannya di terima sebagai bagian dari persaudaraan masyarakat ASEAN dan Asia Pasifik. Di era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejak 2004 kita mencatat beberapa kali mereka menikam.
Lewat WikiLeaks, Sydney Morning Herald dan The Age, mereka menyerang pribadi dan keluarga Presiden SBY. Tikaman politik itu amat sadis dan merupakan character assasination (pembunuhan karakter) yang sengaja dilakukan, ketika Indonesia tengah melakukan konsolidasi demokrasi. Dengan tikaman politik itu, tersirat pesan, Pemerintah Australia membiarkan penistaan terhadap Presiden Republik Indonesia. Bahkan terkesan sengaja hal itu dilakukan untuk membuat Indonesia gaduh.
Media Australia itu sengaja melakukan serangan dengan peluru hearsay (ghibah - gunjingan), ghost story (desas-desus) yang diharapkan akan menjadi bagian dari aksi intellijen - memata-matai. Efek yang dikehendaki, nampaknya sebagai referensi untuk menyusun policy design sikap politik pemerintah Australia terhadap Indonesia. Dampaknya akan sangat buruk, karena kelak akan menyebabkan terjadinya intelligent failure.
Boleh jadi inilah yang kemudian melatari politik ausignares yang lebih parah dengan melakukan aksi penyadapan percakapan telepon Presiden SBY, Ibu Negara, Wakil Presiden, dan sejumlah Menteri. Aksi intellijen yang sangat tidak beradab di era modern dan terbuka seperti kini. Apalagi, sikap Perdana Menteri Australia Abbot yang hanya sekadar menyesalkan peristiwa tersebut.
Belajar dari pengalaman selama ini, menghadapi politik Ausignares politisi dan pemerintah Australia, kita berharap, BIN (Badan Intellijen Negara) dan institusi pertahanan nasional bertindak lebih intensif melakukan blokade.
Karena itu, tindakan tegas Presiden SBY dan Menteri Luar Negeri Marthy Natalegawa: menarik pulang Duta Besar RI di Canberra, serta menghentikan seluruh kerjasama militer, intellijen, kepolisian, dan informasi, harus diperkuat lagi. Antara lain dengan meminta Duta Besar dan diplomat Australia di Indonesia, pulang ke negerinya.
Tindakan diplomatic punishment diperlukan, agar para diplomat asing yang bertugas di Indonesia, sungguh sadar, tugas utama mereka adalah mempererat buhul persahabatan. Bukan melakukan aksi intellijen yang tidak beradab dan merusak tatanan hubungan antara bangsa.
Pemerintah juga perlu memberlakukan peraturan khusus bagi siapa saja warga negara asing di Indonesia yang melakukan pekerjaan-pekerjaan khas. Misalnya, yang berkaitan dengan penelitian dan informasi. Pengalaman lain menunjukkan, warga negara Indonesia tidak bisa melakukan aktivitas penelitian dan yang berkaitan dengan informasi di berbagai negara lain.
Selebihnya, kasus penyadapan ini sebenarnya harus menyadarkan kita secara kolektif untuk tidak membuka kepemilikan asing pada operator telekomunikasi. Artinya, pemerintah perlu segera berupaya melakukan divestasi kepemilikan atas BUMN telekomunikasi (seperti Telkom dengan anak usahanya: Telkomsel dan Indosat).
Selama kepemilikan atas perusahaan operator telekomunikasi (termasuk satelit) yang sangat strategis (dan media) masih terbuka terhadap pemodal asing, tidak mustahil peristiwa yang melukai bangsa ini akan terulang kembali.
Apalagi kini, ketika kita sedang memasuki tahun puncak politik, Pemilihan Umum 2014. Politik Ausignares akan gencar bermanuver di tengah riuh politik nasional itu.
*) Penulis
Oleh N. Syamsuddin CH. Haesy*)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013