London (ANTARA News) - Amnesty International prihatin terhadap nasib ribuan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Hong Kong yang menghadapi risiko kondisi kerja seperti budak sebagai pekerja rumah tangga,

Sebuah laporan terbaru berjudul "Dieksploitasi demi Keuntungan, Diabaikan oleh Pemerintah" yang diterima ANTARA London, Jumat menjelaskan cara agen perekrutan Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong memperdagangkan perempuan Indonesia untuk eksploitasi dan kerja paksa.

Tindakan pelecehan yang terjadi antara lain dihambat kebebasannya, kekerasan fisik dan seksual, kurangnya makanan, dan jam kerja yang berlebihan dan eksploitatif.

"Sejak perempuan tersebut ditipu untuk membuat tanda tangan untuk bekerja di Hong Kong, mereka terjebak dalam lingkaran eksploitasi dengan kasus-kasus yang masuk kategori perbudakan moderen," kata Norma Kang Muico, Peneliti Hak-Hak Migran Asia Pasifik di Amnesty International.

Temuannya berdasarkan pada wawancara mendalam dengan 97 pekerja rumah tangga Indonesia dan didukung oleh survei atas hampir 1.000 perempuan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (Indonesian Migrant Workers Union).

Ada lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong, dengan setengahnya dari Indonesia dan hampir seluruhnya perempuan.

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa agen perekrutan secara rutin gagal memberikan para buruh migran dokumen-dokumen legal yang diperlukan termasuk kontrak, asuransi wajib dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang melemahkan upaya dan sarana untuk menuntut ganti rugi.

Ketika seorang pekerja rumah tangga migran tiba di Hong Kong, mereka dikontrol secara ketat oleh agen penempatan lokal dan sering oleh pemberi kerja mereka.

Mayoritas perempuan yang diwawancara oleh Amnesty International mendapati dokumen mereka disita oleh majikan atau agen penempatan mereka di Hong Kong. Sekitar sepertiga tidak diperkenankan meninggalkan rumah majikannya.

Amnesty International menemukan bahwa mereka yang diwawancara bekerja rata-rata 17 jam per hari; banyak responden yang tidak menerima Upah Minimum yang Diperkenankan (Minimum Allowable Wage) berdasarkan Undang-Undang, dilarang mempraktikan kepercayaan mereka, dan tidak mendapatkan hari libur mingguan.

Pembayaran yang rendah adalah masalah yang meluas, tulis laporan Amnesty International itu. Namun, periode dua tahun hingga Mei 2012, hanya 342 kasus pembayaran yang rendah yang diajukan dari total populasi lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.

Hukum Hong Kong menyatakan pekerja rumah tangga migran harus mendapatkan pemberi kerja baru dan mendapatkan visa kerja baru dalam jangka waktu dua minggu setelah berakhirnya kontrak mereka, atau mereka harus meninggalkan Hong Kong.

Hal ini menekan pekerja untuk bertahan dalam situasi yang melecehkan karena mereka tahu jika mereka meninggalkan pekerjaan maka akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru dalam dua minggu sehingga mereka harus meninggalkan negeri itu.

"Keseluruhan sistem merugikan pekerja rumah tangga migran. Jika Pemerintah Hong Kong serius dalam melindungi perempuan tersebut, mereka akan menghapus Peraturan Dua Minggu dan Kewajiban Tinggal Serumah yang menempatkan para perempuan dalam risiko pelecehan yang lebih besar," ungkap Muico.

Amnesty International menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan Hong Kong untuk secepatnya meratifikasi dan menerapkan Konvensi Pekerja Rumah Tangga dari Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013