Yang dimaksud dengan makna gramatikal adalah makna yang terbangun dari hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar. Misalnya, hubungan antara kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa.
Yang dimaksud dengan makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain. Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya.
Kalimat "saya makan agar kenyang", sebagai contoh, terdiri atas tiga kata bermakna leksikal: "saya", "makan", dan "kenyang" serta satu partikel yang bermakna gramatikal, dalam hal ini berjenis konjungsi "agar". Sebagai kata bermakna leksikal, "saya", "makan" dan "kenyang" punya makna walaupun tak digunakan dalam satu kalimat. Namun, kebermaknaan partikel "agar" menjadi jelas ketika digunakan dalam konteks kalimat.
Contoh lain adalah : "Anak yang berbaju coklat itu cerdas". Partikel "yang" dalam kalimat di atas hanya mengandung makna gramatikal. Dia tak bisa bermakna tanpa dikaitkan dalam konteks relasional dengan kata-kata yang mendahului dan membelakanginya.
Namun, benarkah semua kata tugas atau partikel tak punya makna leksikal? Tunggu dulu untuk mengatakan benar. Ternyata, ada kata tugas yang punya makna leksikal. Tentu, kata tugas itu punya makna leksikal hanya dalam konteks tertentu. Dia tak bisa bermakna leksikal dalam semua konteks kalimat.
Partikel manakah yang punya makna leksikal dan dalam konteks pembentukan frasa yang manakah? Satu-satunya partikel yang bermakna leksikal itu adalah "tentang" (dan padanannya, tentunya), dan dihubungkan dengan kata "belajar". Jadi kebermaknaan leksikal partikel "tentang" bisa dibuktikan dengan melakukan komparasi makna pada dua kalimat berikut ini: "John belajar bahasa Jepang" dan "John belajar tentang bahasa Jepang".
Pada kalimat pertama, yang dilakukan John adalah belajar berbicara bahasa Jepang sementara pada kalimat yang kedua bermakna studi mendalam tentang prinsip-prinsip linguistik bahasa Jepang. Objek yang dipelajari bisa kita ganti apa saja, dan maknanya akan mengukuti pola di atas. Misal: "Saya belajar renang", dan "saya belajar tentang renang". Yang pertama belajar praktik renang, yang kedua belajar teori, sejarah dan perkembangan renang.
Dari komparasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ternyata partikel "tentang" punya potensi pembeda makna. Namun, pemahaman seperti ini sebetulnya belum final dari perdebatan. Artinya, bagaimana dengan kalimat dengan varian seperti ini: "John belajar teori bahasa Jepang" dan "John belajar tentang teori bahasa Jepang"? Bagaimana pembedaan makna pada dua kalimat di atas, untuk menunjukkan potensi makna leksikal partikel "tentang"?
Rupanya, dari dua kalimat di atas, dengan memasukkan kata "teori", kebernaknaan leksikal "tentang" menjadi hampa. Mereka yang bersikukuh bahwa partikel tak mungkin bermakna leksikal akan berargumen bahwa eksistensi partikel "tentang" dalam kalimat "John belajar tentang bahasa Jepang" adalah karena "belajar" berjenis verba taktransitif. Jika verba taktransitif itu diganti dengan verba transitif yang punya dasar kata sama, yakni "mempelajari", kian jelaslah duduk perkarannya.
Namun, para penelaah bahasa yang menekankan makna dalam telaah mereka akan tetap memberikan makna pembeda pada partikel "tentang" ketika partikel itu digunakan bersama-sama kata "belajar". Dalam bahasa Inggris, komparasinya adalah "learn" dan ""learn about".
Tampaknya, sebuah kekecualian dalam bahasa bukanlah hal yang istimewa. Itu sebabnya, kekecualian mengenai partikel yang mempunyai makna leksikal bisa diterima sebagai kewajaran belaka.
Adanya potensi partikel "tentang" bermakna leksikal dalam konteks kalimat "John belajar tentang bahasa Jepang" yang mengandung makna "John mempelajari teori atau seluk-beluk bahasa Jepang" tanpa harus mengeksplisitkan frasa "teori atau seluk-beluk" sesungguh memperkaya ekspresi linguistik.
Di samping itu, potensi seperti itu mendukung spesifikasi makna pemakaian kata-kata dalam berbahasa. Ada yang mengatakan bahwa kini orang semakin memperumum makna pada kata-kata yang sebelumnya punya makna spesifik. Ini sebuah kemunduran. Satu kata yang punya makna spesifik, oleh masyarakat, bahkan mereka yang semestinya dituntut cerdas dalam pemakaian kata, digunakan dengan makna yang kian meluas.
Dulu, misalnya, "nyaris" hanya dipakai untuk situasi yang negatif, atau tragis, namun kini maknanya dipernetral dan orang bisa seenaknya mengatakan "Politisi itu nyaris jadi menteri". Tentu pembiasaan pemakaian kata dengan makna yang kian melebar ini perlu dihentikan atau dilawan dengan mengembalikan makna spesifik pada kata-kata tertentu itu oleh mereka yang menganggap berbahasa sebagai seni berekspresi.
Oleh M Sunyoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013