Jakarta (ANTARA News) - Bayi kembar siam berkepala dua 'Syafitri' Selasa pukul 13.00 WIB meninggal dunia setelah 15 hari dirawat di Rumah Sakit Pelni Petamburan, Jakarta Barat, akibat pernafasan yang tidak sempurna (memadai), dan menurut rencana jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kemanggisan pada Rabu pukul 10.00 WIB. Pada Selasa sekitar pukul 08.00 WIB pernafasan Syafitri sudah mulai menurun dibanding hari-hari sebelumnya yang mencapai 65 miligram per detik. Dokter sempat memasang alat bantu pernafasan, tetapi setelah dilakukan perawatan intensif usaha tersebut sia-sia, kata Ketua Tim Dokter Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat, Ketut Lila Murti, di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan kepala sebelah kiri Syafitri meninggal terlebih dahulu pada pukul 12.00 WIB. Setelah itu, selang satu jam atau sekitar pukul 13.00 WIB menyusul kepala bagian kanan. Menurut dia, yang menyebabkan kondisi Syafitri sering sekali tidak stabil karena paru-paru dan jantung sebelah kiri Syafitri hampir tidak berfungsi, dan hal itu diperparah lagi oleh kondisi bayi sebelah kanan yang selalu mensuplai ketidakstabilan bayi sebelah kiri. "Hal ini membuat kondisi bayi kembar tersebut sering tidak stabil," ujar dia. Sebelumnya tim dokter sudah mempunyai dugaan bahwa Syafitri tidak akan bertahan lama. Namun, hal itu tidak dipublikasikan agar tim medis yang menangani kasus bayi kembar berkepala dua "Syafitri" tidak cepat putus asa dan selalu mengupayakan seoptimal mungkin untuk kehidupan Syafitri. Menurut keterangan dari ketua tim dokter RS Pelni Jakarta, jenazah Syafitri diambil oleh pihak keluarga pada pukul 14.00 WIB, dengan diiringi mobil ambulans dari RS Pelni serta mobil operasional dari Kelurahan Slipi, Jakarta Barat. Bayi berkepala dua Syafitri lahir di RS Pelni Petamburan pada 7 Agustus 2006 pukul 23.00 WIB melalui operasi sesar (sectio caesaria). Bayi kemudian ditangani oleh tim dokter yang beranggotakan 13 orang dokter ahli dari RS Pelni, enam orang dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan enam orang lagi dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, yang diketuai dr Ketut Lila Murti SpA. Tim dokter sendiri sebelumnya telah menyatakan bahwa bayi kembar dua kepala tersebut tidak mungkin dapat dipisahkan. Selain itu, hingga Syafitri meninggal dunia, tim dokter belum juga mampu melakukan intervensi berupa operasi untuk merapihkan organ bagian dalam tubuh bayi kembar itu, karena kondisi tubuhnya yang sering mengalami perubahan serta usia bayi yang belum cukup mampu untuk dilakukan operasi. "Operasi pembenahan organ dalam dapat dilakukan jika bayi berusia sekitar enam bulan," ujar Kepala RS Pelni Petamburan, Sri Rachmani Mkes. Keluarga ikhlas Sebelum bayi kembar Syafitri meninggal dunia pada pukul 12.00 WIB dan 13.00 WIB, Mulyadi, ayah bayi itu mengatakan bahwa dirinya sempat mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapatkan keringanan biaya pelayanan dari rumah sakit yang merawat anaknya, karena menurut dia, masa berlaku SKTM yang dikeluarkan sebelumnya sudah habis. Namun saat berada di rumah sakit dirinya spontan ingin menelpon tim medis yang menangani Syafitri. Ketika menelpon salah satu tim medis yang menangani kesehatan anaknya, mendadak terdengar suara gemuruh atau berisik dari telepon selular salah satu tim medis yang dihubunginya itu. Karena curiga dengan suara ketidakberesan tersebut, Mulyadi langsung bergegas menuju ruang `Intensive Care Unit` (ICU), tempat Syafitri dirawat. Setibanya di ruang ICU, sontak badan Mulyadi bergetar dan lemas melihat kondisi Syafitri yang sedang kritis. Untuk menenangkan dirinya, ia berupaya tenang dan bibirnya tidak henti-henti mengucapkan do`a. Dengan sabar pria kelahiran Jakarta itu menunggu kabar dari tim dokter yang terus berupaya mempertahankan kehidupan Syafitri. Melihat kondisi Syafitri yang semakin memburuk, Mulyadi bergegas menghubungi seluruh kerabat dan keluarga agar dapat melihat kondisi bayi itu di rumah sakit. "Saya pasrah melepas kepergian Syafitri, mungkin Allah SWT sayang kepada Syafitri, sehingga anak saya dipanggil terlebih dahulu dalam keadaan suci dari dosa," ujar Mulyadi ketika ditemui ANTARA. Sementara itu, Nuryati, ibu Syafitri nampak terlihat lemas, dan saat mendengar kabar duka tentang anaknya, Nuryati sempat pingsan hingga dua kali. Menurut keterangan dari salah seorang kerabatnya, Nuryati pingsan karena kondisi dia belum begitu sehat pasca-operasi sesar. Sekitar pukul 17.00 WIB, Nuryati mulai lebih kuat. Dia duduk tidak jauh dari jenazah Syafitri, berjarak sekitar satu meter. Dan ketika menyambut kerabatnya yang datang melayat, Nuryati sudah dapat tersenyum, walaupun hanya sesekali saja. Selain itu, sekitar pukul 18.00 WIB, Nuryati sudah dapat melakukan wawancara langsung dengan salah satu televisi swasta. "Saya ikhlas jika semua ini sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, namun saya selalu ingin menangis jika melihat kondisi anak saya yang sudah terbaring kaku itu," ujar Nuryati. Sementara seluruh keluarga Syafitri menyatakan terima kasih tak terhingga kepada para tim dokter yang telah berupaya seoptimal mungkin mempertahankan kehidupan Syafitri. Selain itu, mereka juga berterima kasih kepada para rekan media massa yang tak henti-hentinya memberikan dukungan baik moril maupun melalui pemberitaan. Menurut Mulyadi, tanpa bantuan tim medis dan Media massa, dirinya tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengupayakan kesehatan anaknya itu. "Selain tim dokter dan media saya juga berterima kasih kepada masyarakat sekitar yang hingga saat ini membantu meringankan beban keluarga saya," katanya. Ia mengakui bahwa dirinya ditelepon oleh pihak protokoler Istana, mereka hanya menanyakan alamat rumah duka dari Syafitri. "Selasa Sore ini memang sudah dua kali saya terima telepon dari pihak Presiden, namun maksud dan tujuannya saya belum mengetahui pasti," kata Mulyadi. (*)
Copyright © ANTARA 2006