Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saldo piutang pajak 31 Desember 2011 mencapai Rp86,5 triliun, lalu berkurang Rp12,24 triliun satu tahun kemudian per 31 Desember 2012 menjadi Rp74,26 triliun. Ini salah satunya tercapai berkat penagihan yang menjadi bagian langkah penegakan aturan terhadap Wajib Pajak, di samping pemeriksaan dan penyidikan pajak yang sudah masuk ranah hukum pidana.

Berdasarkan data mengenai turunnya saldo piutang pajak itu, upaya penegakan hukum terlihat cukup efektif. Ini juga tergambarkan dari terus naiknya rasio kepatuhan Wajib Pajak dalam priode 2006-2010. Pada 2006 rasio ini 33,08%, tapi setahun kemudian naik drastis menjadi 54,15%, lalu naik lagi pada 2010 menjadi 58,16%. Sayang, pada 2011 yang adalah tahun ketika kasus Gayus Tambunan meledak, rasio itu turun ke 52,74%.

Dari gambaran statistikal itu jelas ada korelasi kepatuhan Wajib Pajak dengan penilaian Wajib Pajak kepada sistem pengelolaan pajak, termasuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang berfungsi mengumpulkan pajak.

Dari situ terlihat penegakan hukum memang perlu. "Tapi harus terlebih dahulu dicari siapa yang tidak membayar pajak, badan usaha atau individu? Karena siapa tahu yang tidak patuh itu adalah individu yang tidak sengaja atau belum paham," kata Dr. Sylvia Veronica Siregar, akamedisi dari Universitas Indonesia.

Menurut Sylvia, penegakan hukum memang harus dilakukan, tapi bila ada bukti WP yang membayar pajak memang masih rendah. Dalam kaitan ini, Ditjen Pajak harus memastikan sosialisasi sejelas-jelasnya mengenai aturan perpajakan, sampai kepada Wajib Pajak.

Sylvia mengakui selama ini Ditjen Pajak telah dan terus mengupayakan informasi mengenai pajak sampai kepada Wajib Pajak. Dia menunjuk web resmi Ditjen Pajak yang disebutnya memuat banyak informasi, termasuk link link tentang aturan pajak dan cara menghitung pajak. Sylvia juga menunjuk media online yang banyak menyajikan informasi mengenai pajak.

Namun, Sylvia melihat itu semua belum cukup, apalagi belum semua daerah bisa mengakses dengan baik internet. "Jadi Ditjen Pajak harus mencari cara yang lebih inovatif lagi agar semua orang menjadi tahu aturan pajak," kata dia.

Doktor termuda pada Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang salah satunya mengajar Corporate Governance ini mengatakan Ditjen Pajak harus memastikan dahulu beberapa hal menyangkut informasi pajak, mulai data Wajib Pajak, sosialisasi aturan, sampai mekanisme penggunaan teknologi informasi untuk pelaporan pajak.

"Sekarang sebagian masih manual. Dari WP formnya bukan semua e-filing, masih memakai hard copy. Pembayaran bulanan juga belum link langsung. Kalau membayar pajak di bank, buktinya diserahkan secara manual ke Ditjen Pajak. Padahal kalau semua dilakukan online, maka Ditjen Pajak akan lebih mudah mengontrolnya," kata Sylvia.

Sylvia ingin menekankan bahwa cara-cara preventif dengan membangun setinggi mungkin kesadaran dan pengetahuan pajak masyarakat, agar capaian sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pajak meningkat dari masa ke masa, tanpa terus tergantung pada cara-cara keras bisa menjadi bumerang, apalagi jika berbarengan dengan ekspos prilaku buruk segelintir penyeleweng pajak dalam internal Ditjen Pajak . Lagi pula, masih banyak Wajib Pajak yang tak memahami bagaimana mereka harus menyelesaikan kewajiban pajaknya atau bagian-bagian mana dari mereka yang masuk lingkup pajak.

"Kalau masih bisa diperbaiki, mengapa harus dengan tahap yang keras?" kata dia.

Menurut dia, Ditjen Pajak masih bisa memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang belum taat untuk memperbaiki diri, apalagi belum ada penilaian dari Ditjen Pajak yang bisa memastikan semua Wajib Pajak memahami kewajibannya. "Kalau kesalahan murni karena enggak paham, tetapi langsung dihukum kan enggak fair jadinya. Itulah kenapa masih ada tahapan seperti itu," kata Sylvia.

Dia tidak setuju dengan tindakan langsung menindak keras Wajib Pajak yang lalai memenuhi kewajiban pajaknya. "Ini masih merupakan pembelajaran bagi semua pihak. Untuk sekarang ini enggak bisa langsung mengenakan hukuman berat kalau ada pelanggaran," kata dia.

Untuk itu pula, Sylvia menolak wacana pemanfaatan tenaga luar Ditjen Pajak seperti debt collector untuk membantu menagihkan utang pajak Wajib Pajak. Dia yakin semua masih ditangani SDM yang saat ini ada pada Ditjen Pajak. "Saya belum pernah tahu, apakah ada riset kalau memakai outsourcing akan lebih efektif dibanding memakai orang dalam," sambung Sylvia.

Namun Ditjen Pajak harus memastikan jumlah SDM ideal yang semestinya mereka punyai, dengan catatan semua diberdayakan secara optimal. "Kalau masih kurang dan memang negara punya anggaran cukup untuk menambah orang dalam, ya ditambah," kata Sylvia.

Dia menyarankan Ditjen Pajak untuk memastikan terlebih dahulu jumlah ideal pegawainya, demi memaksimalkan pengumpulan pajak. Dan Ditjen Pajak bisa menelusurinya dengan melakukan riset independen bekerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian, termasuk dengan kampus-kampus seperti Universitas Indonesia.

Di samping itu, demi memaksimalkan penegakan hukum kepada Wajib Pajak yang berniat buruk mengakali pajak, Sylvia menyarankan sebuah tindakan koordinatif antara Ditjen Pajak dengan para penegak hukum.

Berdasarkan catatan Ditjen Pajak, jumlah kasus tindak pidana pajak yang sudah maju ke proses peradilan terus meningkat dalam kurun waktu 2008 - 2012 mencapai 105 kasus dengan 85 di antaranya telah divonis pengadilan, sementara total perkiraan kerugian negara akibat tindakan pidana pajak hingga 2012 mencapai lebih dari Rp1.684 triliun. Kasus tindak pidana perpajakan ini sendiri didominasi oleh faktur pajak fiktif dan bendahara.

Untuk mencegah pembiakan penyelewangan itu, Ditjen Pajak harus mencapai kesepahaman dengan sistem penegakan hukum. "Pada beberapa kasus, Ditjen Pajak harus bisa berkerjasama dengan polri dan kejaksaan," katya Sylvia. Dan kerjasama ini dibingkai dalam kesatuan pemahaman mengenai pajak dan pelanggaran pajak.

"Untuk menangani kasus-kasus tertentu seharusnya pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung mengetahui seluk beluk kasus pajak yang mereka selidiki. Harus ada pemahaman, setidaknya pada gambaran dasarnya, tak perlu mendalam banget," kata Sylvia seraya mencontohkan agar kedua sistem penegakan hukum itu bisa memanggil saksi ahli yang kompeten.

Di luar itu semua, Sylvia menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam membantu mencegah penyelewengan pajak, baik yang dilakukan Wajib Pajak maupun sistem penagihan dan pengelolaan pajak.

Dan itu dimulai dari warga negara Indonesia. "Kalau misalnya saya menemukan indikasi pelanggaran disengaja dan merugikan negara dan ada mekanisme untuk melaporkan, maka saya pun akan menggunakan mekanisme itu melaporkan pelanggaran pajak," demikian Sylvia.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013