Jakarta (ANTARA News) - Forum Studi Aksi Demokrasi (Fosad) mengancam akan mengajukan pemerintah dan PT Lapindo Brantas ke Mahkamah Internasional dan Komisi HAM PBB jika tidak segera melakukan langkah kongkrit penyelesaian kasus lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, terutama menyangkut nasib warga yang menjadi korban. "Jika tak segera ada langkah kongkrit, terutama menyangkut nasib warga korban lumpur yang kini dalam kondisi menyedihkan di penampungan sementara, maka kami akan membawa persoalan ini ke Mahkamah Internasional dan Komisi HAM PBB," kata Ketua Umum Fosad Faisal Riza Rahmat, di Jakarta, Selasa. Dikatakannya, dalam menangani bencana ekses pengeboran yang dilakukan PT Lapindo, semestinya dua hal yang harus dikerjakan secara simultan yakni menghentikan luapan lumpur dengan teknologi yang tepat serta menangani nasib warga yang jumlahnya mencapai 2.000 KK secara layak dan manusiawi. "Jadi persoalannya bukan bagaimana membuat tanggul tapi bagaimana menghentikan luapan lumpur serta menangani warga yang menjadi korban secara manusiawi, misalnya dengan merelokasi mereka pada pemukiman yang layak sehingga mereka bisa meneruskan kehidupannya. Jadi bukan sekedar memberi uang harian atau uang kontrak selama dua tahun," katanya. Secara teknologi, katanya, luapan lumpur ekses pengeboran PT Lapindo dapat ditangani karena memang ada ahlinya dan kecelakaan akibat pengeboran bukan hanya terjadi di Indonesia atau khususnya di Sidoarjo. "Persoalannya biaya untuk itu sangat mahal. Tapi itu bukan alasan untuk tidak dilakukan," katanya. Apalagi, tambah Faisal, PT Lapindo asuransinya ditanggung oleh sembilan perusahaan asuransi asing. Sementara menyangkut nasib warga, katanya, harus ada perjanjian yang memiliki kekuatan hukum sehingga rakyat tidak dirugikan. Untuk itu, perlu ada semacam nota kesepakatan (MoU) antara pemerintah, warga dan PT Lapindo menyangkut hak-hak warga dan kewajiban pemerintah dan PT Lapindo. MoU itu, kata Faisal, antara lain berisi jaminan masa depan warga yang menjadi korban lumpur, baik berupa rumah, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. "MoU ini hal mendasar yang bisa menjadi pegangan warga dan memiliki kekuatan hukum. Hal-hal kongkrit semacam ini belum dilakukan. Belum ada kebijakan yang tuntas. Yang terjadi selama ini hanyalah retorika-retorika, sementara warga yang berada di penampungan makin hari makin sengsara," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006