Pemerintah Indonesia telah memproyeksikan jumlah green jobs hingga tahun 2045 mencapai 15 juta ...
Jakarta (ANTARA) - Saat tahun Emas Indonesia 2045 tiba, berarti negeri ini sudah dipimpin Generasi Z. Mereka yang hari ini masih berusia berkisar 17 sampai 25 tahun, kelak akan menjadi penentu kebijakan pada tahun 2045, tentu termasuk kebijakan dalam hal pengelolaan lingkungan dan energi.
Semua boleh bermimpi, saat itu lingkungan akan makin bersih dan hijau, termasuk juga dengan energi yang digunakan.
Dari segi target waktu, kita hampir setara dengan Inggris atau Skandinavia, termasuk China dan Jepang, yang akan mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2050.
Indonesia sendiri memasang target emisi nol bersih pada 2060. Transisi menuju pemanfaatan energi yang bersih dan berkelanjutan, sedangkan berlangsung secara simultan.
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (renewable energy, EBT) adalah keniscayaan, dan merupakan bagian dari visi Generasi Z, atau generasi baru pada umumnya.
Apa yang terjadi di lapangan menjadi bukti konkret bahwa visi energi hijau generasi baru memiliki pijakan kokoh, yakni berbasis riset.
Generasi Z atau generasi baru ikut mendorong implementasi, yang oleh para aktivis lingkungan biasa disebut sebagai program “blue sky”. Yang semula dianggap metafora, seperti pengalaman pada masa awal pandemi, ketika industri melaksanakan penguncian wilayah atau lockdown, dan kendaraan bermotor (dengan energi fosil) berdiam di rumah atau pangkalan, ketika masyarakat menjadi lebih sering menyaksikan langit berwarna biru, sebuah situasi yang harus dipertahankan.
Selaras dengan proyeksi Pemerintah terkait lapangan kerja hijau (green jobs), melalui Kementerian PPN/Bappenas diperkirakan akan ada 15,3 juta pekerjaan baru di sektor ekonomi hijau hingga 2045.
Kendati belum ada data spesifik mengenai ketersediaan green jobs secara luas di level nasional maupun global.
Pekerjaan hijau adalah pekerjaan yang berkontribusi dalam upaya menjaga atau memulihkan lingkungan di sektor tradisional seperti manufaktur atau konstruksi, atau sektor-sektor hijau baru yang muncul seperti energi terbarukan dan efisiensi energi, seperti dikutip dari laman Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Implementasi di lapangan
Kelak industri yang mendukung ekonomi hijau akan berkembang dan membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang besar.
Indonesia dinilai penting untuk turut masuk ke dalam transformasi tersebut melalui transisi energi dan mulai membangun ekosistem green jobs yang akan memperkuat populasi usia produktif.
Green jobs adalah pekerjaan yang layak dan berkontribusi melestarikan atau memulihkan lingkungan. Ini dapat berasal dari sektor yang baru seperti energi terbarukan dan efisiensi energi.
Ketertarikan generasi muda terhadap pekerjaan hijau tidak terlepas dari kekhawatiran krisis iklim dan degradasi lingkungan yang makin parah.
Dalam sebuah survei yang dilakukan lembaga independen di bawah UI (Universitas Indonesia), semua responden atau 99 persen percaya bahwa generasi muda memiliki peran penting dalam mengatasi tantangan krisis iklim melalui karier di bidang pekerjaan hijau.
Generasi Z percaya green jobs memberikan peluang karier menarik. Berdasar asumsi generasi baru tidak hanya mengejar penghasilan, namun bagaimana pekerjaan juga bisa berdampak positif bagi keberlanjutan lingkungan.
Ada beragam peluang karier yang menarik mulai dari tata busana hijau yang menciptakan fesyen ramah lingkungan, ahli energi terbarukan, perancangan kota berkelanjutan, pertanian organik, hingga pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Semua pantas bangga, mereka adalah generasi baru pemikir isu keberlanjutan, dan yang makin membanggakan, semua produk eksperimentalnya berbasis riset.
Pada titik ini makin terlihat arti penting insentif riset bagi Generasi Z, utamanya yang berminat pada isu energi terbarukan dan kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
Masyarakat bisa berharap pada generasi baru untuk melanjutkan risetnya, mengingat banyak sumber energi terbarukan, seperti gelombang laut, yang sangat melimpah di negeri ini, namun belum digunakan secara komersial dengan optimal, karena semuanya masih pada tahap riset.
Mengingat harga energi terbarukan yang masih tinggi, saat ini hanya perusahaan besar seperti Coca Cola atau Unilever, yang berani berinvestasi infrastruktur dengan memanfaatkan energi terbarukan, melalui pemasangan panel surya di pabriknya, yang membutuhkan anggaran dan luasan (tempat pemasangan) yang besar.
Mengurangi emisi gas rumah kaca adalah tanggung jawab bersama, berdasar premis generasi mendatang berhak hidup di Bumi yang lebih sehat dan hijau.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menghitung, emisi gas rumah kaca global harus turun 7,6 persen setiap tahun sepanjang 2020-2030. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius pada dekade mendatang.
Lembaga internasional cukup memberi perhatian pada bisnis rintisan Generasi Z yang memanfaatkan EBT (energi baru dan terbarukan).
Sekadar contoh praktik di lapangan, setidaknya ada dua bisnis rintisan generasi baru yang memanfaatkan EBT. Bisnis mereka merupakan model yang tipikal, sekaligus prospektif.
Pertama adalah Sinari, yang memasok energi berbasis panel surya bagi sektor agrikultur di pedalaman NTT. Dengan skema pendanaan yang ditanggung bersama antara Sinari dan petani.
Sinari memberikan pasokan energi, untuk proses produk, seperti kacang mete, kopra, dan kacang kenari. Melalui proses lanjutan, harga komoditas tersebut menjadi naik, jauh di atas harga jual, bila dijual secara gelondongan (barang mentah). Margin harga itulah yang kemudian dibagi dua antara Sinari dan kelompok petani setempat.
Kedua adalah Sylendra Power di Yogyakarta, yang mengembangkan dan memanfaatkan EBT di sejumlah kompleks perumahan.
Usaha mereka sudah pada melewati tahap kembali modal (BEP), dan sedang menuju pada fase profit, dengan hanya mengandalkan tarif jasa pemeliharaan peralatan, yang sebelumnya telah mereka instal di rumah sejumlah konsumen.
Kesiapan lembaga pendidikan
Bonus demografi yang sedang berlangsung saat ini, berupa fenomena mayoritas jumlah penduduk usia produktif, diharapkan bisa mewujudkan cita-cita sebagai generasi emas, yakni generasi istimewa yang momentumnya terjadi saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya.
Apakah Indonesia akan benar-benar menjadi negara maju pada 2045, adalah sebuah pertanyaan besar, yang proses menjawabnya harus dimulai dari sekarang.
Indonesia memiliki peluang green jobs yang besar di berbagai sektor. Pemerintah Indonesia telah memproyeksikan jumlah green jobs hingga tahun 2045 mencapai 15 juta dalam skema Pembangunan Indonesia Rendah Karbon.
Seolah berkejaran dengan waktu, menjadi pentingnya memanfaatkan secara optimal sisa waktu (sampai tahun 2036) bonus demografi, agar dapat menjadi negara maju.
Universitas-universitas di Indonesia secara umum sudah mumpuni untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di lapangan pekerjaan hijau.
Misalnya, universitas atau politeknik yang mengajarkan penggunaan energi terbarukan untuk kendaraan listrik. Atau fakultas-fakultas ekonomi manajemen yang juga mulai mengajarkan green business untuk perusahaan-perusahaan rintisan.
Dalam program strategis menuju industrialisasi berbasis ramah lingkungan, pendidikan menjadi faktor penting dalam mencetak generasi baru yang memiliki kompetensi, agar lebih kompetitif di tingkat global, setidaknya pada aras regional Asia Tenggara.
Dengan akses pendidikan tinggi berkualitas yang lebih luas, generasi baru Indonesia tumbuh menjadi pribadi berkarakter unggul, sekaligus kompeten di bidang yang menjadi minatnya.
Tanpa akses pendidikan, terutama pendidikan vokasi (politeknik), bonus demografi yang saat ini sedang berlangsung, akan terlewati begitu saja.
Visi Indonesia Emas 2045 mensyaratkan tersedianya SDM unggul dan kompetitif, hanya bisa dicapai bila didukung akses pendidikan yang baik.
Lembaga pendidikan tinggi mengambil peran strategis dalam mencetak SDM berkualitas.
Merujuk Statistik Pendidikan tinggi 2020, jumlah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia mencapai 4.593, yang seharusnya mencukupi untuk menampung lulusan SMA/SMK, yang berjumlah 3,7 juta per tahun, namun hanya sekitar 58 persen yang kemudian melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diyakini kian tinggi pula kualitasnya, memiliki pengetahuan dan kemampuan global untuk menopang gerak laju pembangunan.
Karena itu di tengah keterbatasan anggaran negara, langkah Pemerintah untuk meningkatkan rasio penduduk berpendidikan tinggi (hingga S-3), melalui optimalisasi anggaran pendidikan patut diapresiasi.
Indonesia bisa belajar dari Singapura dan Korea Selatan dalam meniti jalan menjadi negara maju berbasis industri, salah satunya dengan cara menyelaraskan sistem pendidikan dengan pembangunan industri.
Kemudian bagaimana pelaku industri tidak hanya sekadar menjadi pengguna, namun mereka juga terlibat aktif memberi masukan mengenai kurikulum pendidikan.
Sebagai negara industri, baik di Singapura, Korsel, maupun negara maju lain, sektor industri dan manufaktur mudah mendapatkan talenta yang dibutuhkan dari generasi baru hasil, lulusan lembaga dalam negeri.
Bagi Indonesia, salah satu pelajaran yang bisa dipetik adalah tentang pentingnya pendekatan sistematik dalam mempersiapkan SDM melalui pendidikan berkualitas tinggi, dan mudah diakses rakyat, termasuk anak dari keluarga tidak mampu.
Jalan itu harus ditempuh karena pada akhirnya pembangunan industri harus didukung oleh talenta dari generasi baru yang memiliki kompetensi dan keterampilan khusus.
Tahapan ini tidak bisa dicapai seketika, tetapi harus melalui tahapan pendidikan dan latihan yang berlangsung reguler.
Ketika Indonesia sedang memacu sektor industri, salah satunya menjalankan kebijakan hilirisasi SDA (sumber daya alam) dan industri ramah lingkungan, persoalan yang banyak dihadapi perusahaan adalah ketersediaan talenta yang siap pakai.
Kenyataan yang terlihat bahwa jumlah tenaga terampil yang tersedia untuk menjalankan industri sangat terbatas.
Semua bisa melihat fakta di lapangan, ketika pemerintah ingin membangun industri nikel, yang akan menjadi pilar industri kendaraan listrik (electric vehicle), maka banyak tenaga kerja didatangkan dari negara investor.
Selain karena padat modal dan teknologi, memang tak cukup tersedia tenaga terampil yang bisa disediakan di dalam negeri, itu juga yang menjadi sebab tersendatnya proses transfer teknologi.
Kemajuan teknologi sektor industri menuntut talenta yang dihasilkan dunia pendidikan, itu sebabnya pihak industri dan lembaga pendidikan perlu berkolaborasi untuk menyiapkan talenta yang memiliki kompetensi relevan, utamanya dalam lapangan kerja hijau.
Di Indonesia masih terjadi kesenjangan, antara lulusan perguruan tinggi, utamanya pendidikan vokasi/politeknik, dengan kebutuhan korporasi dan industri, yang berdampak tidak terserapnya lulusan perguruan tinggi di dunia kerja.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
Copyright © ANTARA 2024