Jakarta (ANTARA) - Bulan Ramadhan yang dicintai umat Islam di dunia sebentar lagi pergi. Demikian pula perintah Allah pada orang beriman untuk berpuasa di Bulan Ramadhan segera berakhir.
Di pengujung Ramadhan, apakah orang-orang yang beriman akhirnya berhasil meraih predikat orang yang bertakwa?
Lalu apa sesungguhnya predikat tersebut sehingga umat Islam harus bersusah payah puasa selama sebulan penuh untuk mencapainya?
Takwa dalam Bahasa Indonesia diserap langsung dari Bahasa Arab yaitu taqwa. Bahasa Indonesia beruntung banyak menyerap Bahasa Arab tanpa banyak mengubah diksi aslinya.
Takwa, sabar, shalat, iman, dan kitab merupakan contoh-contoh kata dalam Bahasa Indonesia yang diserap dari Bahasa Arab tanpa perubahan besar diksinya. Tentu hal tersebut memudahkan orang Indonesia jika mau untuk belajar Bahasa Arab karena kosa katanya sudah sangat akrab di telinga.
Namun, keberuntungan di satu sisi tersebut sebetulnya di sisi yang lain sangat problematis. Serapan langsung tersebut membuat makna kata dari Bahasa Arab itu sulit dicerna karena belum tentu padanan katanya diketahui secara luas.
Takwa, bahkan menjadi predikat yang terbaik di antara manusia yang beragam. Disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di antara manusia yang beragam gender, suku, bentuk, status sosial adalah manusia yang paling bertakwa.
Imam Ghazali dalam Kitab Minhajul Abidin menjelaskan definisi takwa yang saat ini paling sering disebutkan para khatib di setiap mimbar Jum’at.
Takwa adalah "menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah". Dengan demikian dapat diartikan tujuan berpuasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa, yaitu pribadi manusia yang mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Namun, terdapat juga sebagian ahli yang mengartikan takwa sebagai takut. Ada pula yang mengartikan sebagai kehati-hatian.
Maksudnya, rasa takut dan hati-hati sehingga manusia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Argumentatif
Cendikiawan Muslim almarhum Prof Dr Nurcholis Madjid mengartikan takwa dengan bahasa lebih argumentatif. Menurut Cak Nur (panggilan Nurcholis Madjid) takwa adalah kesadaran manusia atas kehadiran Tuhan dalam segala aktivitas keseharian, sehingga akan bertindak sesuai dengan yang diinginkan Tuhan.
Secara sederhana Cak Nur mengartikan takwa sebagai kesadaran ketuhanan. Maksudnya kesadaran akan kehadiran Tuhan.
Penjelasan tersebut terasa lebih mengena karena kesadaran akan kehadiran Tuhan dapat melahirkan beragam perasaan, seperti cinta, rindu, mesra pada Tuhan di satu sisi, bahkan takut pada Tuhan di sisi yang lain.
Tentu definisi takwa ala Cak Nur tidak akan memuaskan semua pihak karena Al Quran sendiri adalah kitab suci yang terbuka pada beragam tafsir.
Ahli tafsir yang satu dapat berbeda dengan penafsir yang lain. Bahkan pemaknaan satu ayat Al Quran saja dapat berbeda-beda pada setiap orang.
Seringkali pula orang yang sama dapat memaknai ayat yang sama secara berbeda, tergantung konteks waktu dan kondisi yang sedang dialaminya.
Namun, terdapat hal menarik ketika Al Quran diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Penerjemahan takwa ke dalam Bahasa Inggris tidak diserap secara langsung.
Takwa di dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai conscious atau mindful yang artinya kesadaran.
Dengan kata lain perintah puasa pada Al Quran yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris adalah agar orang-orang beriman yang berpuasa menjadi orang-orang yang sadar atau orang-orang yang memiliki kesadaran.
Demikian pula orang yang paling mulia di antara manusia itu adalah orang yang bertakwa atau orang yang memiliki kesadaran.
Kesadaran di sini diartikan sebagai kesadaran terhadap kehadiran Tuhan. Hal tersebut mirip dengan pemaknaan takwa oleh Cak Nur.
Barangkali perjumpaan Cak Nur dengan Bahasa Arab sejak kecil, kemudian penguasaannya terhadap Bahasa Inggris, dan kemampuannya dalam Bahasa Indonesia membuatnya mampu mengekstrak informasi dari Al Qur’an dengan lebih jelas.
Jika diartikan demikian, maka tentu sudah tepat puasa dapat membentuk manusia-manusia yang bertakwa.
Berpuasa ibarat latihan bagi orang beriman untuk terus merasakan kehadiran Tuhan di siang hari saat berpuasa, makan dan minum di saat berbuka dan sahur, serta shalat malam dan mengkaji Al Quran di sepanjang malam.
Ibadah yang hampir berlangsung selama 24 jam akan membentuk pribadi manusia yang terus menerus merasakan kehadiran Tuhan.
Pada konteks lain kesadaran terhadap kehadiran Tuhan ini mirip dengan predikat ihsan dalam perspektif 3 hal terkait agama, mencakup islam, iman, dan ihsan.
Kata Ihsan sering diartikan suatu kondisi ketika hamba beribadah seolah-olah melihat Tuhan dan seandainya tidak dapat melihat Tuhan, maka sesungguhnya Tuhan melihat hamba-Nya.
Jika ihsan juga diartikan sebagai tangga tertinggi setelah islam dan iman, maka sesungguhnya pribadi yang ihsan itu adalah pribadi yang bertakwa.
Kini setelah sebulan penuh berpuasa, setiap pribadi dapat mengevaluasi apakah dirinya telah memiliki kesadaran terhadap kehadiran Tuhan dalam setiap aktivitasnya.
Jika dari setiap Ramadhan ke Ramadhan berikutnya kesadaran terhadap kehadiran Tuhan semakin tebal, maka puasa yang dijalaninya setiap tahun telah membawanya pada predikat takwa.
Namun, sebaliknya jika kesadaran dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya semakin tipis atau tetap, maka latihan untuk mencapai kesadaran itu harus semakin kuat dijalani.
*) Mul Sujarwo adalah Wakil Ketua DPP Gema Mathla’ul Anwar dan Destika Cahyana adalah Anggota Majlis Amanah DPP Gema Mathla'ul Anwar.
Copyright © ANTARA 2024