Bandung (ANTARA) - Sungai Citarum sepanjang 297 kilometer yang mengalir dari hulu di Bandung serta bermuara di Laut Jawa, merupakan urat nadi bagi kehidupan dan peradaban masyarakat Jawa Barat.
Oleh karena itu, terjaganya kelestarian Sungai Citarum menjadi sangat penting dalam mengembangkan masyarakat, utamanya yang hidup di sepanjang daerah aliran sungai tersebut.
Sungai Citarum memiliki sumber mata air dari Gunung Wayang yang berada di sebelah selatan Kota Bandung, mengalir hingga utara Pulau Jawa, hampir membelah Tatar Pasundan.
Selain berfungsi sebagai sumber air baku bagi jutaan warga di Jawa Barat, sungai Citarum juga memiliki keanekaragaman hayati serta fungsi-fungsi lainnya
Bahkan, Sungai Citarum diyakini telah menjadi urat nadi peradaban manusia di masa Kerajaan Tarumanagara ketika berkuasa (4-8 M). Citarum menjadi penunjang majunya masyarakat saat itu, termasuk dalam penataan saluran air untuk pertanian.
Pikukuh leluhur
Para leluhur di Tatar Pasundan sebenarnya telah menciptakan pikukuh atau petunjuk untuk menjalani hidup yang lurus selaras dengan alam. Pikukuh itu adalah "gunung teu meunang dilebur, lebak teu beunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun."
Artinya, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilupakan, yang suci tidak boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, bukan harus dianggap bukan, yang dilarang harus tetap dilarang, yang benar harus dibenarkan.
Namun, seiring waktu dengan berbagai perkembangan yang terjadi, termasuk berdirinya pusat-pusat ekonomi yang berimplikasi pada pertambahan masyarakat baik lokal maupun pendatang dengan terjadinya asimilasi, perlahan mengubah sosio-kultural di Jawa Barat, yang akhirnya juga menggeser pikukuh tersebut.
Perubahan kultur ini terlihat pada dampaknya terhadap sungai terpanjang di Jawa Barat yakni Citarum yang tercemar oleh limbah, sampah, degradasi hutan sekitar dan norma masyarakat sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Padahal, sungai dengan panjang sekitar 297 kilometer ini merupakan sungai yang mewarnai sejarah dan kehidupan masyarakat di Tanah Sunda.
Sungai Citarum termaktub dalam naskah Bujangga Manik yang ditulis sang raja saat dalam perjalanan spiritualnya mengelilingi Jawa dan Bali. Bagian hulunya ditetapkan sebagai kabuyutan (wilayah suci). Sungai ini pernah menjadi pusat dan urat nadi kerajaan tertua di Indonesia, yakni Tarumanagara dengan rajanya Prabu Purnawarman.
Namun, sejak tahun 1980-an kondisi Sungai Citarum terancam akibat pencemaran dampak pertumbuhan industri yang tak diiringi dengan tanggung jawab lingkungan, maraknya pembukaan lahan sebagai tempat tinggal, maupun alih fungsi lahan di sekitarnya.
Citarum Harum
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum pada 2010, Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mengalami degradasi fungsi konservasi sumber daya air cukup besar, yakni 26.022 hektar. Hal ini terjadi akibat fungsi kawasan lindung berkurang, pengembangan kawasan permukiman yang tidak terencana, dan pola tanam pertanian yang tidak sesuai peruntukan.
Data Dinas Lingkungan Lingkungan Hidup Jawa Barat menyebutkan, hutan lindung di DAS Citarum memiliki luas 660.000 hektare. Kini, tersisa sekitar 85.800 hektare atau 13 persen saja, dan kemungkinan bertambah akibat kondisi bentang alam yang mengalami perubahan drastis.
Kondisi Sungai Citarum sempat menjadi sorotan internasional karena kotor dan tercemar . Pemerintah kemudian menerbitkan Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.
Berlandaskan kebijakan tersebut, berbagai unsur mulai dari kementerian/lembaga, pemerintahan, hukum dan keamanan, pengusaha, akademisi, media, hingga unsur masyarakat dilibatkan untuk terlibat dalam sebuah program Citarum Harum, yang digagas sebelumnya oleh Kodam III Siliwangi, dengan anggaran bersumber dari APBN dan APBD.
Citarum Harum menargetkan perbaikan ekosistem hingga kualitas air pada 19 Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Sungai Citarum dengan 16 Sub DAS di dalamnya yang terdapat pada 14 wilayah kota/kabupaten di Jawa Barat yang membentang dari Kabupaten Bandung di hulu, sampai Kabupaten Bekasi, Karawang, Indramayu, dan Subang di hilirnya. Untuk menanganinya, ada pembagian wilayah kerja menjadi 23 sektor.
Perbaikan DAS Citarum dalam program Citarum Harum difokuskan dalam 12 program yakni penanganan lahan kritis, penanganan limbah domestik, pengelolaan sampah, penanganan limbah industri, penanganan limbah peternakan, penanganan keramba jaring apung, pengelolaan SDA dan pariwisata, pengendalian pemanfaatan ruang, penegakan hukum, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan data dan informasi, riset dan pengembangan.
Pada awal program Citarum Harum di tahun 2018, Indeks Kualitas air (IKA) berada pada poin 33,43 meningkat dari sebelumnya 26,3, namun statusnya masih cemar berat. Indeks tersebut kemudian meningkat menjadi 40,67 pada 2019, lalu 55 pada 2020, kemudian turun ke 50.13 pada 2021. Pada 2022 meningkat menjadi 51,01 dan 2023 menjadi 50.78 dengan status cemar ringan.
Berdasarkan catatan dari Satgas Citarum Harum pada tahun 2023, dari 12 aspek yang ada, ada yang melebihinya dari target yakni aspek penegakan hukum dengan 584 dari target 455 kasus pengaduan, 65 dari target 29 kasus perdata/pidana dan 167 dari target 105 kasus sanksi administrasi, serta 11 dari enam kajian yang dimanfaatkan.
Kemudian, 46.055 hektare dari target 46.055 hektare tercakupnya pengendalian pemanfaatan ruang, aspek edukasi pemberdayaan masyarakat dengan 234 dari target 234 institusi pendidikan, 31 dari target 15 komunitas, dan 1.268 dari 870 pemberdayaan desa.
Sementara itu, aspek kehumasan dengan satu dari target satu command center, 282 dari target 341 titik manual dan 24 dari target 22 onlimo lokasi pemantauan kualitas air, dan 38 dari target empat media humas.
Dari aspek penanganan limbah industri dengan 1.607 dari target 1.304 industri dibina dan 960 dari 1.034 industri diinventarisasi. Aspek penanganan limbah domestik dengan 478.866 kepala keluarga (KK) dari target 430.831 KK yang dibina, serta aspek penanganan sumber daya air dan pariwisata dengan 19 persen dari target 22 persen luas genangan tersisa di segmen hulu, 2,7 meter kubik/detik dari 2,4 meter kubik/detik penambahan air baku, dan lima dari target lima lokasi destinasi wisata air.
Aspek yang belum tercapai adalah aspek penanganan lahan kritis yang terealisasi 33.811,63 hektare dari target 48.778,61 hektare, aspek pengelolaan sampah dengan 3.383,25 ton/hari dari target 4.814,85 ton/hari sampah terkelola, aspek penanganan limbah peternakan dengan 28.613 ekor dari target 36.624 ekor sapi yang terkelola limbahnya, serta aspek penanganan keramba jaring apung dengan terealisasi 24.928 unit dari 84.729 unit keramba yang ditertibkan.
Beberapa aspek dalam program Citarum Harum yang masih belum mencapai target itu, menurut Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, karena sangat terkait dengan aktivitas manusia, selain kondisi geologi, topografi dan alam juga memiliki pengaruh.
"Keberhasilan Citarum Harum ini adalah bagaimana menjaga lingkungan sekaligus perilaku manusia ke arah lebih baik. Dan ini tidak mudah, Korea itu sedikitnya butuh 40 tahun, Singapura pun demikian, di Indonesia hal itu merupakan program besar yang butuh waktu karena wilayah yang panjang dan luas, serta jumlah penduduk yang besar," ucap Kepala BBWS Citarum, Ir Bastari.
Pihak BBWS Citarum mengakui tidak akan bisa langsung menyelesaikan semua permasalahan yang ada sekaligus. Oleh karena itu, ke depan program Citarum Harum akan memaksimalkan penanganan sampah dan limbah domestik masyarakat di sekitar Citarum.
Pasalnya, berdasarkan kajian dan temuan BBWS Citarum, saat ini sekitar 60 persen limbah yang masuk ke Citarum adalah limbah domestik mulai dari sampah rumah tangga, sampah dari pasar, serta limbah industri-industri kecil termasuk warung makan.
Dalam mengatasinya, Satgas Citarum Harum akan menjalankan program Manajemen Pengelolaan Sampah Terpadu Tuntas di Tempat (MPS3T) guna memutus pencemaran di Sungai Citarum, dengan menyelesaikan sampah dari darat.
Dalam program tersebut, TNI dan akademisi dalam hal ini Universitas Pasundan menggunakan alat Motah (Mesin Olah Runtah), yang kini telah diuji coba di sektor 7 Citarum Harum (Kabupaten Bandung).
Sistem kerjanya, masyarakat harus diedukasi untuk memisahkan sampah antara organik seperti sisa makanan dengan anorganik seperti plastik, kemudian sampah kering dimasukan ke alat Motah yang akan membakarnya dengan suhu 1.000 derajat celcius tanpa listrik dan bahan bakar, sementara sampah basah bisa dipergunakan sebagai pakan maggot.
"Program dengan mesin Motah pada tahun 2024 ini akan diterapkan di 12 titik lagi yang merupakan lokasi dengan produksi sampah banyak," kata Bastari.
Selain itu, untuk pengelolaan limbah rumah tangga juga Satgas Citarum Harum terus mendorong pembangunan septictank komunal di tiap RW di seluruh kota dan kabupaten DAS Citarum, pembangunan IPAL, sampai terus dilakukannya pembenahan dan rehabilitasi kawasan sempadan atau bantaran DAS Citarum.
Kendati restorasi Sungai Citarum terus berproses, tapi sungai yang debit airnya kini mencapai 13 miliar meter kubik per tahun itu mampu memberi manfaat pemenuhan air bagi 18 juta warga Jawa Barat. Citarum juga sebagai sumber pembangkit listrik 1.880 MW bagi sekitar 20 persen kebutuhan listrik Jawa-Bali.
Bahkan, Citarum menjadi andalan untuk mengairi sekitar 400 ribu hektare sawah, sumber air ribuan industri dan sumber air baku bagi sekitar 80 persen air minum Jakarta.
Tahun 2025 merupakan tahun terakhir dari timeline untuk mengembalikan kondisi Citarum. Meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tapi dengan kerja bersama semua pihak terkait, diharapkan sejumlah permasalahan akan mampu terselesaikan.
Dengan demikian, Sungai Citarum pada saatnya akan kembali kepada fungsinya, memberikan kemaslahatan bagi kehidupan dan penggerak peradaban yang lebih besar lagi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024