Surabaya (ANTARA) - Alangkah indahnya bila moderasi beragama yang dikembangkan Kemenag saat ini diawali dari moderasi bermazhab, karena moderasi secara eksternal (antar-agama) akan lebih mudah terwujud bila moderasi secara internal (sesama agama) sudah dianggap selesai.

Moderasi adalah sikap moderat atau sikap di tengah dan sikap saling memahami serta menghormati di antara perbedaan, baik perbedaan agama (moderasi beragama) maupun perbedaan mazhab (moderasi dalam perbedaan pandangan dalam satu agama).

Perbedaan adalah keniscayaan karena semua manusia itu tidak mungkin sama dan sebangun. Secara fisik saja pasti berbeda, apalagi non-fisik. Karena itu, perbedaan tidak akan pernah selesai bila tidak ada moderasi (saling menerima), apalagi bila saling "mengafirkan" ("vonis" surga-neraka), seperti yang sering ditunjukkan oleh kelompok Salafi/Wahabi.

Oleh karena itu, moderasi beragama dan juga moderasi bermazhab itu mengajarkan pentingnya dialog dan kerja sama antar-agama/mazhab, serta menekankan bahwa semua agama/mazhab memiliki prinsip/tujuan yang mulia, yakni membangun kebaikan dan keadilan, kecuali sumbernya yang berbeda.

Agaknya, moderasi bermazhab di kalangan NU dan Muhammadiyah, sudah dipraktikkan secara indah oleh tokoh NU-Muhammadiyah, seperti Dr Nurbani Yusuf (aktivis Muhammadiyah di Kota Batu, Jawa Timur) dan KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha'/PBNU/pengasuh Pesantren Tahfidzul Qur'an Rembang, Jateng).

Misalnya, praktik rukyatul hilal saat Ramadhan/Idul Fitri dan bacaan qunut saat Shalat Subuh yang sering didikotomikan sebagai perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, yang ternyata sekadar perbedaan dalam penafsiran oleh guru-guru mereka.

Gus Baha' menilai qunut itu bukan perbedaan NU dan Muhammadiyah, tapi karena NU merujuk Imam Syafii, sedangkan Muhammadiyah merujuk Imam Hanafi. Perbedaan kedua imam itu juga karena berbeda menafsirkan perilaku Nabi.

Imam Syafii melihat bahwa amaliah yang dilakukan Nabi itu patut diikuti, sedangkan Imam Hanafi melihatnya Nabi hanya amaliah dalam kondisi khusus. Imam Syafii melihatnya amaliah Nabi perlu diteladani hingga akhir zaman, meski hanya sekali dilakukan Nabi.

Tokoh NU KH Saifuddin Zuhri dan tokoh Muhammadiyah Buya Hamka punya kisah menarik tentang pemahaman mereka terhadap qunut, ketika keduanya dalam satu kapal untuk perjalanan haji ke Tanah Suci Mekkah.

KH Syaifuddin Zuhri tidak membaca qunut jika ada Buya Hamka menjadi makmum, sebaliknya Buya Hamka pakai qunut jika menjadi imam Sholat Subuh yang di belakangnya ada KH Syaifuddin Zuhri menjadi makmum.

Hal yang sama juga terjadi dalam rukyatul hilal untuk menentukan awal Ramadhan/idul Fitri. Sejatinya, NU-Muhammadiyah sama-sama memakai rukyatul hilal.

Bedanya, Muhammadiyah menggunakan kemunculan hilal di atas ufuk secara hisab/teknologi, meski tidak terlihat secara kasat mata, sedangkan NU me-rukyat hilal secara kasat mata. Ukuran hilal terlihat secara kasat mata itu berkisar 2-3 derajat, tapi hilal sudah di atas ufuk, meski tidak terlihat karena di bawah ukuran itu.

Lain lagi soal Maulid Nabi. Gus Baha tidak menemukan pendapat Nabi untuk amaliah itu, karena mana mungkin Nabi merayakan hari kelahiran sendiri? Gus Baha mengisahkan ulama besar Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami yang sangat mengharamkan lagu atau nasyid puji-pujian, namun justru hadir dalam sebuah majelis Maulid Nabi. Nabi pun tidak mungkin berselawat untuk dirinya, atau "bid'ah", karena Allah dan malaikat pun berselawat untuk Nabi (QS Al-Ahzab ayat 56).

Ketika ditanya sikapnya itu, Syekh Ibnu Hajar menjawab bahwa dirinya melihat Rasulullah sendiri hadir di dalam majelis itu. Artinya, Gus Baha menilai Rasulullah memang sudah wafat secara jasad, tapi beliau tetap hidup secara ruh, apalagi QS Ali Imran ayat 169 menyebut orang yang meninggal di jalan Allah itu hidup.


"Terima Kasih NU-Muhammadiyah"

Cara pandang moderat dalam mazhab juga ditunjukkan secara indah oleh Ustadz DR Nurbani Yusuf, seorang aktivis Muhammadiyah tingkat kecamatan/kota di Batu, Malang, yang juga dosen UMM dan pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar, Batu, Malang.

Dalam catatan ringan berjudul "Terima Kasih NU!", ustadz Nurbani Yusuf mengawali dengan ungkapan bahwa betapa sepinya jika ramadhan tanpa kehadiran masjid NU. Rajab dan Sya’ban adalah prolog menyambut Ramadhan yang eksotik.

Wajah Islam terasa sangat dekat, bukan lagi jauh di langit tujuh. Bukan hanya berbagi takjil kurma, tapi juga berbagi pahala. Membaca Al Quran juga kebajikan yang banyak, menjadikan masjid NU kian humanis dan dibutuhkan.

Meski NU disebut-sebut banyak melakukan aktivitas bid’ah, tapi Nurbani Yusuf (Muhammadiyah) mengaku sangat suka karena banyak mendapat manfaat kebiasan-kebiasaan yang dikerjakan oleh warga NU.

Dari masjid-masjid NU itu, dirinya bisa membedakan antara bulan biasa dan bulan Ramadhan. Tadarus bersahut-sahutan, beduk ditabuh, mercon dibakar, tarhim dikumandangkan 15 menit sebelum adzan sebagai tanda masuk shalat.

Dari masjid NU pula, dirinya mendapat informasi kapan harus persiapan pulang sebelum shalat Jumat. Petani dan pekebun bersiap pulang. Kita juga bisa membedakan mana masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat dan mushala biasa.

Pada setiap Ramadhan, masjid-masjid NU yang paling semarak, makmur dengan berbagai aktivitas tadarus, selawatan, dibaan, dan khataman. Anak kecil hingga orang tua seperti parade mengaji. Bukan hanya berbagi takjil kurma, tapi berbagi pahala kebajikan.

Nyadran, megengan, malem likuran, malem songo dan lainnya adal;ah tradisi di mayarakat NU. Berbeda dengan masjid-masjid lainnya yang lampunya dimatikan bakda shalat tarawih, jendela ditutup, pintu digembok rapat, masjid sepi aktivitas, 'ngaji harus di rumah' sebab ngaji di masjid bakda Tarawih itu dibilang bid'ah karena tidak ada teladan dari Nabi.

Dini hari menjelang subuh pun, jauh di pelosok dan penjuru kampung, masjid-masjid NU seperti digerakkan oleh peringatan, "sahur..! sahur..! sahur..! imsak..! imsak..!" dan tarhim pun bersahut-sahutan. Itu hanya ada di masjid NU. Meski tak sepaham, warga Muhammadiyah itu ikut mendapat manfaat dari berbagai pertanda. Perlahan, Nurbani Yusuf mulai akrab, semacam mengenang masa kecil di kampung halaman.

Islam di tangan orang NU begitu humanis dan dekat dengan kehidupan. NU adalah Islam yang dipahami oleh orang kampung, seperti Mbok Jum, Mbakyu Tumiati, Kang Supingi, Kang Supardi atau Cak Nur. Orang-orang sederhana dengan kebutuhan beragama yang juga sangat sederhana, tidak muluk-muluk. Mereka orang biasa, hidup biasa, beragama juga dengan cara biasa.

NU dapat merangkum semua status sosial dan struktur masyarakat dalam sebuah jam'iyah. Mewarisi dan merawat metode jitu yang ditemukan para wali penyebar Islam di tanah Jawa. NU tidak melawan tradisi, apalagi mengubah budaya, sebaliknya memanfaatkan tradisi dan budaya sebagai media dakwah.

Yang menarik, Nurbani Yusuf pun melabrak definisi dan konsep bid'ah yang perlu diubah. Tidak setiap amal butuh dalil dan tidak setiap yang tidak ada dalil disebut bid'ah. Buya Yunahar Ilyas menyebut bahwa dalam ibadah ghairu mahdhah tidak ada bid'ah. Prof Din Syamsudin pun menyarankan memperbanyak bid'ah sosial.

Buktinya, warga Persyarikatan (Muhammadiyah) pun mulai mengakrabi tradisi mengenang yang telah mati (atau semacam maulid), meski secara virtual, bahkan ada takziah virtual mengenang yang telah mati. Hal tersebut juga bid'ah baru yang diakrabi warga Persyarikatan. Sungguh menggembirakan.

Namun, Nurbani pun menutup catatannya dengan "meski banyak kata dia pujikan untuk NU, tapi dia tetap Muhammadiyah". Ia hanya mencoba jujur melihat realitas, melihat kekurangan sendiri dan mengakui kelebihan orang lain, tanpa saling merendahkan. Ia pun berterima kasih kepada NU.

Tradisi moderasi bermazhab yang cukup indah telah dimulai oleh tokoh NU-Muhammadiyah. Terima kasih Muhammadiyah dan terima kasih NU. Saatnya, moderasi bermazhab yang indah dalam kehidupan yang sangat sebentar, karena 2024 tahun (dunia) hanya 2,024 hari (akhirat), menjadi tradisi. Bagaimana dengan moderasi Anda?

Copyright © ANTARA 2024