"Orang sekarang enggak ada yang mau bertani salak. Kayak saya, lahan kebun di belakang rumah ini sudah saya bikin kontrakan, kira-kira satu hektare," kata Ketua RW 05 kelurahan Bale Kambang, Tetem Sumardi kepada ANTARA News di Jakarta, Selasa.
Sementara Sekertaris Lurah Bale Kambang Benar Sigalingging mengungkapkan dari 9.573 warga Bale Kambang yang berstatus bekerja, tidak ada satu pun yang menjadi petani buah karena mata pencaharian ini sulit meraup pendapatan banyak.
Tetem sendiri mengaku tak lagi mengandalkan bertani salak. "Warga terus berketurunan sementara kondisi ekonomi untuk hidup tak berubah-ubah," tambah Tetem.
Tetem yang tumbuh besar di Bale Kambang mengisahkan, dahulu kebun salak mendominasi wilayah tempatnya tinggal di RT 007/05.
"Dulu zaman masih SMP (sekitar tahun 1970-an) di depan rumah saya ini kebun salak. Dulu itu di sini cuma ada empat rumah. Sisanya pohon salak semua," kenangnya.
Hingga akhir 1989-an lahan salak kian menyusut dan masa keemasan salak Condet pun memudar apalagi sebagaian kebun salak berganti menjadi permukiman.
Benar Sigalingging membenarkan bahwa 80 persen wilayah Bale Kambang kini diisi perumahan. "Lahan kebun salak ya di RT 10, RW 4 saja (lokasi percontohan budidaya salak milik departemen pertanian)," ujar Benar.
Lurah Bale Kambang, Ahmad Maulana, mengatakan para pemilik lahan lebih tertarik mengubah lahan pertaniannya menjadi perumahan yang umumnya bangunan kontrakan.
Pernyataan senada disampaikan Abdul Kadir, Ketua komunitas Ciliwung Condet, yang juga terlibat dalam pembudidayaan salak Condet.
"Biaya hidup cukup tinggi. Kontrakan itu lebih menjanjikan daripada tanaman salak," ujar Abdul.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013