Jakarta (ANTARA) - Belanja infrastruktur pada tahun anggaran 2024 diperkirakan mencapai lebih dari Rp400 triliun sehingga seharusnya menjadi angin segar bagi pelaku di bidang konstruksi baik itu kontraktor maupun konsultan.

Hanya saja untuk menikmati "kue" yang cukup besar itu juga tersembunyi risiko terutama dari sisi hukum apabila dalam pelaksanaan pekerjaan melanggar peraturan terutama UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Erie Heryadi sebenarnya seluruh pelaku di industri konstruksi sudah memahami rambu-rambu di sektor ini, tetapi setiap tahun selalu ada anggotanya yang terjerat persoalan hukum.

Belajar dari berbagai kasus hukum yang melibatkan anggota Inkindo, Erie melihat banyak hal yang terjadi karena faktor eksternal atau di luar kendali anggota baik sebagai pengawas maupun perencana.

Sebagai contoh, pekerjaan yang tidak selesai dari tenggat waktu yang sudah ditetapkan atau terjadi kerusakan sebelum usia konstruksi selalu menjadi temuan bahkan menyeret pelaku konstruksi ke ranah hukum.

Terkait masih terjadinya persoalan hukum di sektor konstruksi, Inkindo berencana melakukan pendekatan kepada pemerintahan baru yang terpilih nantinya untuk memberikan kepastian hukum di sektor konstruksi.

Ada beberapa masukan terkait pekerjaan konstruksi untuk proyek-proyek yang dibiayai APBN/APBD. Salah satunya dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pos audit atau pemeriksaan yang dilakukan pada awal pekerjaan.

Celah hukum juga terjadi pada laporan hasil pemeriksaan pekerjaan konstruksi yang memiliki masa tenggang 60 hari. Selama periode itu, sangat dimungkinkan adanya oknum-oknum yang mengadukan adanya temuan.

Peraturan mengharuskan apabila bentuknya laporan masyarakat masih bisa dicabut, tetapi jika bentuknya aduan masyarakat maka harus ada tindak lanjut dan kalau jalan buntu akhirnya masuk ranah hukum.


Regulasi

Edukasi dan sosialisasi di bidang hukum pada awal pekerjaan konstruksi menjadi hal paling krusial untuk mencegah pelaku jasa konstruksi tersangkut persoalan hukum di akhir pekerjaan atau ketika saat serah terima.

Beberapa asosiasi jasa konstruksi juga menyediakan layanan advokasi terhadap anggota untuk memastikan seluruh aspek hukum telah terpenuhi. Termasuk apabila ada anggota yang tersangkut masalah hukum advokasi juga bisa diberikan dalam bentuk layanan konsultasi.

Inkindo sendiri menilai persoalan hukum ini sudah sangat mengganggu untuk keberlangsungan proyek konstruksi. Apalagi di 2024 banyak proyek konstruksi skala besar yang harus dituntaskan.

Apalagi banyak pelaku usaha optimistis pemerintahan mendatang bakal melanjutkan program pembangunan infrastruktur yang sudah dijalankan Presiden Joko Widodo, mulai dari Ibu Kota Nusantara, jalan tol, hingga proyek lumbung pangan (food estate).

Bahkan program makan siang dan pembagian susu gratis yang diusung pemerintah mendatang juga berpotensi untuk meningkatkan peran konsultan karena banyak aspek terkait infrastruktur terutama pertanian dan transportasi untuk mewujudkan program tersebut.

Dengan adanya kepastian hukum bisa mendorong percepatan pembangunan infrastruktur ke depan. Meski demikian peran dari penyedia konstruksi dan konsultan untuk mematuhi aturan dan kebijakan menjadi keharusan agar terhindar persoalan hukum.

Persoalan hukum yang dihadapi penyedia jasa konstruksi tidak hanya proyek skala besar. Justru persoalan paling banyak pada proyek-proyek kecil yang berada di daerah. Berdasarkan advokasi yang dilaksanakan, mayoritas berada di daerah melibatkan penggunaan APBD.

Beberapa memang kasus besar tetapi sangat jarang terjadi seperti terjaring operasi tangkap tangan atau dalam pekerjaan konstruksi terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian.

Erie menyatakan anggota-anggota Inkindo di daerah yang tersangkut kasus hukum umumnya merupakan konsultan supervisi, biasanya karena termin sudah selesai tetapi pekerjaan belum diserahterimakan bahkan di beberapa beberapa kasus, kontraktornya kabur.

Putusan pidana juga 1 atau 2 tahun saja tetapi tentunya mengganggu bagi pelaku konstruksi lainnya. Tak cukup itu bagi konsultan dan kontraktor yang melanggar aturan dan perundangan selain denda juga bisa masuk daftar negatif yang artinya tidak bisa ikut proyek konstruksi Pemerintah lagi.

Inkindo sendiri apabila menemukan hal seperti ini akan melakukan pembinaan agar peristiwa seperti itu tidak terulang. Tak hanya itu dialog dan konsultasi dengan pihak penyedia jasa juga terus terjalin untuk memperbaiki pelaksanaan ke depan.


Peluang

Organisasi itu melihat peluang yang sangat besar di sektor konstruksi terkait dengan program kerja pemerintahan mendatang.

Namun untuk mewujudkan proyek-proyek konstruksi ke depan membutuhkan kerja keras semua pihak terutama terkait dengan pembenahan regulasi agar persoalan hukum yang dialami kontraktor dan konsultan tidak lagi terjadi.

Hal-hal yang menjadi penyebab kontraktor dan konsultan masih berbenturan kasus hukum juga harus diselesaikan, sebagai contoh kekurangan sumber daya manusia.

Seperti diketahui profesi konsultan konstruksi erat kaitannya dengan sumber daya manusia di bidang teknik. Banyaknya proyek infrastruktur tentu membutuhkan tenaga ahli lebih banyak lagi baik itu sebagai konsultan pengawas maupun perencana.

Persoalan sekarang ini lulusan perguruan tinggi yang berasal dari bidang teknik sangat terbatas. Tentunya membuat perusahaan penyedia jasa konsultan memanfaatkan tenaga ahli di beberapa proyek berbeda yang sebenarnya tidak ideal karena fungsi pengawasan menjadi tidak optimal.

Kondisi demikian yang membuat beberapa proyek terkendala karena fungsi supervisi dan pengawasan yang rendah. Hal itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila tenaga ahli konstruksi jumlahnya memadai.

Terkait hal itu pelaku di bidang konstruksi berharap adanya persepsi yang sama dengan pemerintah. Dialog dengan pemerintahan mendatang menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada di bidang konstruksi terutama sisi hukum.

Bisa dipahami fungsi pengawasan menjadi kewenangan pemegang anggaran. Namun sebaiknya optimalisasi pengawasan dilaksanakan ketika proyek sedang berjalan bukan kemudian di saat penyelesaian yang berpotensi memunculkan masalah apalagi kalau bergulir menjadi kasus hukum.

Ibarat lampu lalu lintas maka fungsi pengawasan sebaiknya di saat lampu kuning, bukan ketika sudah berganti menjadi warna merah, yang berarti harus berhenti.


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024