... warga memercayai setiap orang yang melanggar aturan, seperti menangkap ikan pada saat 'sasi' ditutup, ia akan mendapatkan ganjaran buruk mulai dari kecelakaan hingga kematian,Jakarta (ANTARA) -
Setibanya di sana, pengunjung disambut dengan sebuah salib putih setinggi 6 meter. Salib raksasa itu merupakan tugu peringatan masuknya kepercayaan Injil di Kapatcol pada 23 Oktober 1985. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kampung Kapatcol, Luis Hay, kampung dengan total 47 kepala keluarga (KK) itu memang didominasi oleh penduduk Nasrani. Hanya ada dua keluarga yang Muslim. Total penduduk Kapatcol mencapai 412 orang dengan 236 orang di antaranya adalah perempuan. Mereka semua beretnis Matbat.
Dari tugu salib tersebut, pengunjung akan melintasi jalan setapak dan mulai melihat rumah-rumah warga yang asri dengan berbagai bunga dan tanaman yang menyejukkan pandangan. Di kampung itu, setiap pengunjung akan dengan mudah merasakan kehangatan dari warga yang menyambut mereka. Sapaan salam dari warga kepada pengunjung bertebaran di setiap sudut Kapatcol.
Rumah-rumah warga di Kapatcol juga terbilang unik. Sebagian besar dapur warga berdiri dalam bentuk rumah panggung dan langsung menyatu dengan perairan Raja Ampat itu.
Di Kapatcol, pembangkit listrik menggunakan tenaga surya sehingga durasi menyalanya masih terbatas, seperti hanya di kala Matahari tengah bersinar terang. Sementara pada malam hari, durasi nyala listrik berkisar di antara 5 hingga 6 jam. Walaupun begitu, warga yang telah terbiasa berbaur dengan alam Kapatcol tidak merasa terganggu oleh keterbatasan durasi nyala listrik tersebut.
Berkenaan dengan sejarah, Luis Hay yang menjabat sebagai kepala kampung sejak tahun 2012 itu mengatakan Kapatcol sebenarnya telah ada sejak tahun 1984, namun baru memperoleh status sebagai desa atau kampung pada tahun 2000. Ia juga bercerita bahwa mata pencaharian warga Kapatcol didominasi sebagai petani dan nelayan.
Menjaga tradisi sasi laut pelindung bahari
Membicarakan Kapatcol tak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai sasi laut. Ketika pada umumnya pengelolaan sasi laut dilakukan oleh kaum pria, di Kapatcol ada Kelompok Perempuan Waifuna yang mengambil peran itu. Hal tersebut menjadi salah satu keunikan pelaksanaan sasi laut di kampung tersebut.
Sasi merupakan praktik adat untuk mengelola sumber daya alam berkelanjutan, baik di darat maupun di laut. Sasi laut menggambarkan aturan spesifik dan tidak tertulis mengenai wilayah penangkapan, alat penangkapan, spesies target, waktu, dan lokasi penangkapan biota laut. Selama sasi laut berlaku, masyarakat dilarang mengambil sumber daya laut di wilayah sasi hingga waktu panen atau pembukaan sasi tiba.
Dalam pengelolaan sasi laut, Kelompok Waifuna didampingi langsung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer menyampaikan salah satu hasil dari pendampingan yang diberikan pihaknya itu adalah tumbuhnya kesadaran dalam diri para mama di Waifuna agar lebih selektif dalam mengambil hasil laut.
Dalam pandangan Ketua Kelompok Waifuna Almina Kacili, tradisi sasi harus dipertahankan karena memiliki manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Hasil penjualan penangkapan ikan di masa pembukaan sasi dapat digunakan untuk membantu warga yang sedang kesusahan, seperti terkena masalah kesehatan ataupun kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Hal senada juga disampaikan oleh Luis Hay. Menurut dia, keberadaan tradisi sasi harus dipertahankan agar generasi penerus di Kapatcol dapat melihat kemegahan sumber daya laut di perairan Raja Ampat itu, sebagaimana yang saat ini dilihat oleh warga Kapatcol.
Meskipun pengelolaan sasi oleh kelompok perempuan menjadi nilai uniknya, Kampung Kapatcol memiliki beragam sisi lain. Di antaranya di kampung itu, ketaatan terhadap ajaran agama mengakar kuat dalam diri setiap warganya. Jika berada di Kapatcol pada hari Minggu, pengunjung bisa menyaksikan Minggu menjadi hari yang pergerakannya dipenuhi dengan ibadah warga kampung.
Tradisi unik lainnya di Kapatcol adalah penyelenggaraan bazar makanan dengan hasil penjualan dialokasikan untuk kebutuhan gereja. Tokoh agama di Kampung Kapatcol Yesaya Kacili menyampaikan bahwa tidak ada waktu khusus bagi warga dalam menyelenggarakan bazar makanan itu. Pendeta Yesaya mengatakan bazar akan selalu diselenggarakan jika gereja membutuhkan dana tertentu.
Akses pendidikan yang terbatas
Sekolah menengah pertama terdekat dari Kapatcol ada di Kampung Maygey. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di sana sehingga mau tidak mau, anak-anak Kapatcol harus menumpang hidup di rumah keluarganya di sana ataupun rumah warga yang bersedia menerima mereka.
Sementara untuk sekolah menengah atas terdekat dari Kapatcol, ada di Kampung Lilinta dengan waktu tempuh sekitar 30 menit menggunakan kapal motor. Jika warga bersedia melepas anaknya merantau, biaya makan, hidup, dan transportasi bagi anak-anak mereka di tanah rantau menjadi masalah yang harus diatasi orang tua.
Dengan mata berkaca-kaca, Luis menyampaikan asa kepada Pemerintah agar dapat segera mengambil langkah mengatasi persoalan keterbatasan pendidikan di Kapatcol itu.
“Kalau harapan kami ke depan, mudah-mudahan ada berkat dan Pemerintah bisa membuka salah satu SMP di kampung kami,” kata dia.
Luis mengatakan pula jumlah anak di Kapatcol yang makin hari kian sedikit membuat warga kampung merasa cukup berat untuk melepas anak mereka merantau di usia belia demi mengenyam pendidikan menengah pertama.
“Ada siswa lulus SD, tapi tidak lanjut SMP. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan akses. Tinggal dengan orang lain itu berbeda dengan tinggal dengan orang tua. Makan-minum saja menjadi persoalan. Kalau lapar, mereka harus pulang,” ucap Luis.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024