Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makariem menyatakan bahwa krisis Pendidikan di Indonesia telah terjadi sejak 20 tahun lamanya. Untuk memulihkan hal ini, beliau kemudian mengenalkan Kurikulum Merdeka, yang baru saja dideklarasikan sebagai Kurikulum Nasional.


Kurikulum ini juga didukung dengan platform Merdeka Mengajar sebagai referensi bagi guru untuk mengembangkan praktik belajar secara mandiri dan berbagi praktik baik.


Namun, Kesenjangan Pendidikan yang terjadi saat ini menjadi kendala dari pengimplementasian Kurikulum Merdeka. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sistem dan fasilitas pendidikan di daerah dan kota. Terutama kendala klasik yaitu akses internet yang masih terjadi di mana-mana.


Dalam acara sosialisasi Desa Cerdas di Unisma 21/5/2023, Kepala BPI Kemendes mengatakan dari 81.000 di Indonesia, hanya 52.000 desa yang ada internet. Fakta terkait kendala akses internet juga diungkap melalui hasil survey yang dilakukan Segara Research Institute yang dipublikasikan pada 12/5/2023.


Survey kepada ribuan kepsek, guru dan dosen yang tersebar di seluruh Indonesia, separuhnya mengalami kendala yang disebabkan lemahnya jaringan internet. Sehingga, responden mengaku belum bisa memanfaatkan platform yang dirancang oleh Kemendikbudristek karena adanya kendala jaringan internet ini.


Selain kendala internet, ada faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas pembelajaran, yang jelas digitalisasi pembelajaran menjadi pilihan tepat. Idealnya, digitalisasi untuk kemajuan pendidikan dilaksanakan tanpa bergantung pada jaringan internet, karena masih banyak daerah di Indonesia yang kesulitan internet. Dengan memanfaatkan sistem digital maka memperbesar kemungkinan sumber pembelajaran untuk didapatkan atau diakses dengan lebih praktis, lebih mudah dan jauh lebih murah.


Evaluasi pembelajaran yang idealnya dilaksanakan sesering mungkin pada setiap kali kegiatan belajar usai, pada kenyataannya hanya dapat dilaksanakan beberapa kali aja dalam satu semester. Alasannya, karena sekolah harus mempertimbangkan biaya besar yang terjadi untuk setiap pelaksanaan ujian, misalnya penggandaan kertas soal.


Setiap kali penyelenggaraan ujian memakan waktu yang lama di mana guru harus menyiapkan soal, menjaga dan mengoreksi hasil ujian yang melelahkan. Tidak heran jika yang terjadi adalah guru lebih minim usaha saat kegiatan mengajar berlangsung karena beban lainnya yang ditanggung oleh guru.


Belum lagi kecurangan menjadi isu yang banyak dilakukan oleh siswa selama pelaksanaan evaluasi dan mencederai fungsi dari evaluasi tersebut. Seiring berkembangnya zaman, ujian digital membuka kesempatan bagi siswa melakukan kecurangan seperti browsing dan berkomunikasi secara digital dengan temannya. Maka dari itu, salah satu syarat ideal software ujian adalah tidak boleh terhubung internet.


Secara garis besar, Kipin MAX adalah solusi nyata untuk keperluan evaluasi pembelajaran di sekolah. Terlebih karena Kipin MAX tidak membutuhkan jaringan internet, pihak sekolah pun tak perlu keluar dana sedikitpun untuk pelaksanaan kegiatan asesmen.


Dengan adanya inovasi ini Pemerintah lebih mudah dalam membuat langkah nyata untuk menghentikan kesenjangan pendidikan di Indonesia.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2024