Yogyakarta (ANTARA News) - Dua perempuan bule, tiba-tiba menghentikan langkahnya di depan dinding barat Candi Borobudur. Keduanya kemudian mengulurkan tangan masing-masing untuk menyentuh relief kura-kura yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Kiai Brayut.
Ihwal itu dilakukan dengan raut wajah gembira wisatawan berasal dari Spanyol tersebut, setelah sejenak waktu menyimak penuturan secara memikat seorang pemandu wisata Candi Borobudur, Nurrohmad (42).
Siang selepas zuhur itu, Nur dengan bahasa Spanyol secara fasih, bercerita kepada mereka bahwa relief Kiai Brayut sering kali menjadi perhatian orang, khususnya yang ingin mempunyai anak.
"Memang mereka yang terkabul keinginannya memiliki anak, kemudian datang lagi ke relief Kiai Brayut ini, sepertinya untuk mengungkapkan terima kasih," kata Nur.
Relief Kiai Brayut terdiri atas empat panel, letaknya di lantai kedua, lorong pertama sisi barat Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia itu. Relief tersebut bagian dari deretan kisah Jataka, yakni tentang kehadiran Sang Buddha sebelum Pangeran Sidharta atau Bodhisatwa.
Terkait dengan relief Kiai Brayut itu, pada panel pertama Sang Bodhisatwa dikisahkan terlahir sebagai kura-kura raksasa, panel kedua ratusan orang dalam perahu sedang menghadapi bahaya gelombang besar dan terancam ikan buas yang digambarkan sebagai relief buaya.
Panel ketiga tentang kedatangan kura-kura yang juga Bodhisatwa tersebut untuk menolong mereka. Orang-orang itu naik punggung kura-kura, lalu diantar ke pantai dengan selamat, sedangkan panel keempat bercerita tentang kura-kura yang menawarkan tubuhnya untuk dimakan orang-orang yang diselamatkan itu karena mereka kelaparan.
"Belum diketahui runtutannya, kenapa menjadikan banyak orang percaya bahwa relief itu terkait dengan keinginan punya anak? Barangkali saja karena di panel ketiga tergambar kasat mata, banyak orang di punggung kura-kura. Kemudian ditafsirkan sebagai banyak anak atau keluarga," kata Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Magelang periode 2009--2013 itu.
Ia juga mengaku belum tahu arti kata "brayut" meskipun mencoba mengira-ira bahwa kata itu kemungkinan berasal dari "brayat" dalam bahasa Jawa yang berarti keluarga besar.
Bagi Nur, tidak menjadi persoalan bila kisah Jataka yang sesungguhnya tentang kerelaan berkorban dan upaya Bodhisatwa dalam wujud kura-kura, membebaskan banyak orang dari ancaman bahaya itu, kemudian berkembang pemahaman cukup jauh dari aslinya, menjadi tentang kepercayaan masyarakat untuk memiliki anak.
Seorang pegiat budaya pedesaan di kawasan Candi Borobudur, Sucoro, membenarkan bahwa kisah dalam relief itu telah berkembang menjadi kepercayaan cukup banyak orang terkait dengan keinginan memiliki anak.
"Sesungguhnya adalah cerita kepahlawanan kura-kura, membebaskan orang yang sedang dalam kesulitan, bahkan mengorbankan diri untuk dagingnya dimakan karena mereka yang telah ditolong itu menghadapi kelaparan," katanya.
Baik Sucoro maupun Nur juga mengatakan bahwa banyak relief di dinding Candi Borobudur mengisahkan tentang nilai-nilai kepahlawanan, baik berupa fabel maupun cerita perjalanan kehidupan Sidharta hingga mencapai kesempurnaan sebagai Sang Buddha.
Fabel Kiai Brayut, kata Sucoro yang juga pengelola komunitas "Warung Info Jagad Cleguk" Borobudur itu, sebagai salah satu kisah bermuatan nilai-nilai pengorbanan dan jiwa kepahlawanan yang ditorehkan di Candi Borobudur oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
"Itu kisah yang menyentuh nurani. Kura-kura yang menolong membebaskan banyak orang dari ancaman bahaya yang juga rela mengorbankan dirinya supaya banyak orang terbebas dari kesulitan hidup. Itu kisah kepahlawanan dan pengorbanan yang total," katanya.
Ia mengemukakan bahwa kisah Kiai Brayut dari Candi Borobudur relevan jika dihadirkan sebagai cermin harapan seluruh komponen bangsa dalam menghadapi persoalan kompleks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik menyangkut kehidupan politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan, pertahanan, maupun budaya.
Apalagi, katanya, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan pada tanggal 10 November 2013.
Semangat kepahlawanan, tentunya bukan sebatas hanya bisa diserap dari keteladanan para pahlawan pada masa lalu yang berjuang dengan mengangkat senjata dan mengorbankan jiwa serta raga untuk menghadapi penjajahan.
"Di sekitar kita, termasuk dalam diri setiap orang, tersimpan kearifan lokal tentang semangat dan jiwa-jiwa kepahlawanan. Tinggal bagaimana kita mengunggahnya menjadi pelajaran bernilai kepahlawanan untuk banyak orang," katanya.
Salah satunya dari Candi Borobudur, ihwal relief Kiai Brayut.
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013