Apakah kita rela memilih caleg yang menghalalkan segala cara untuk menduduki kursi wakil rakyat? Lalu, bagaimana nasib bangsa ini di tangan para penjahat demokrasi lima tahun ke depan?

Semarang (ANTARA News) - Satu suara saja bisa jadi preseden bahwa Pemilihan Umum 2014 tidak demokratis, apalagi data bermasalah mencapai 10,4 juta orang.

Pernyataan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, S.H. itu menekankan bahwa pemilihan umum (pemilu) mendatang jangan sampai ada warga negara Indonesia kehilangan hak politiknya gara-gara faktor administrasi.

Oleh karena itu, semua pihak perlu mencermati hal-hal yang bakal menghambat pelaksanaan pemilu mendatang, baik itu persoalan administrasi DPT maupun tahapan pemilu lainnya.

Jangan sampai hal itu menjadikan peluang bagi oknum curang demi meraih kemenangan semu.

Salah satu hambatan menuju pemilihan umum yang demokratis, jujur, dan adil yang semua pihak menerima produk pemilu secara legawa tampaknya sudah terdeteksi, baik oleh penyelenggara pemilu maupun partai politik kontestan pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun bertekad menyelesaikan data bermasalah yang jumlahnya mencapai 10,4 juta, apalagi merupakan data pemilih riil. Mereka harus diakomodasi hak politiknya, kata Ketua KPU Husni Kamil Malik.

Berdasarkan pernyataan komisioner KPU Sigit Pamungkas bahwa 10,4 juta pemilih itu terkait tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Hal ini termasuk domain pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Untuk itu, KPU akan berkoordinasi dengan Kemendagri untuk menyelesaikan masalah NIK tersebut.

Meski rapat pleno terbuka tentang rekapitulasi dan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) di Jakarta, Senin (4/11), sudah menetapkan jumlah pemilih, KPU masih membuka ruang untuk menyempurnakan DPT sambil tetap melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu 2014.

Daftar pemilih tetap (DPT) yang disahkan oleh KPU sebanyak 186.612.255 pemilih untuk dalam negeri yang terdiri atas 93.439.610 pemilih laki-laki dan 93.172.645 pemilih perempuan. Adapun DPT untuk pemilih di luar negeri sebanyak 2.010.280 orang di 130 negara dengan 873 tempat pemungutan suara (TPS).

Demi menjaga citra positif KPU yang sudah terbangun ini, Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo menyarankan sebaiknya DPT tersebut dapat terus diperbaiki lagi, sebagaimana keinginan seluruh partai politik peserta pemilu dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Semua mencatat bahwa masih ada masalah soal DPT di beberapa daerah yang jumlahnya cukup besar yang harus terus dikontrol dan di-update oleh KPU," kata Tjahjo.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu lantas mengingatkan, "Jangan sampai permasalahan DPT merusak citra positif KPU dan menjadikan munculnya kejahatan demokrasi di Indonesia yang dibudayakan."

Menurut Tjahjo, KPU harusnya tidak perlu tergesa-gesa untuk menetapkan DPT Pemilu 2014 demi menjaga pelaksanaan pemilu yang berkeadilan bagi semua pihak walau sudah diputuskan secara nasional kemarin (4/11) oleh lembaga negara itu.


Pemilu Jurdil

Terkait dengan masalah DPT, komitmen partai adalah membantu KPU memperbaiki daftar pemilih yang bermasalah dan posisi partai adalah bersama-sama KPU mewujudkan pemilu yang jujur dan adil (jurdil).

Tampaknya tidak hanya penyelenggara dan kontestan pemilu saja yang memberi kontribusi pemilu yang jurdil, tetapi anak bangsa lainnya pun harus ikut serta mewujudkannya.

Pengawasan yang ketat dari segala penjuru, mulai dari daftar pemilih sementara, DPT, pelaksanaan kampanye di lapangan, logistik pemilu, pelaksanaan di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS), penghitungan suara, hingga penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), setidaknya akan mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan demokrasi.

Dengan pengawasan itu, paling tidak meminimalkan tingkat kecurangan. Misalnya, oknum tidak berani menyuap hakim MK, takut melakukan praktik politik uang, dan merasa gentar ketika akan mencoblos sebanyak-banyaknya surat suara atas nama caleg dari parpol tertentu.

Kehadiran pemilih di tempat-tempat pemungutan suara juga ikut mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan demokrasi karena mereka menyaksikan secara langsung penghitungan suara.

Pengawalan tidak hanya di masing-masing TPS, masyarakat juga bisa mencermati hasil penghitungan di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau kelurahan/desa dengan mencocokkan hasil penghitungan di TPS, tempat di mana yang bersangkutan menyalurkan hak politiknya.

Selanjutnya di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan dengan membandingkan hasil penghitungan suara di tingkat PPS apakah ada kesamaan atau malah sebaliknya.

Media massa pun memberi ruang buat mereka yang akan melaporkan kecurangan tersebut dengan menyediakan rubrik "Pengaduan Pemilu 2014". Melalui rubrik yang juga memuat daftar caleg pelanggar aturan kampanye ini, setidaknya menjadi referensi para pemilih sebelum menentukan pilihannya.

Pemilih harus tegas memberi "sanksi" terhadap caleg yang tidak taat peraturan perundang-undangan, termasuk aturan kampanye, dengan tidak memilih yang bersangkutan pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014.

Apakah kita rela memilih caleg yang menghalalkan segala cara untuk menduduki kursi wakil rakyat? Lalu, bagaimana nasib bangsa ini di tangan para penjahat demokrasi lima tahun ke depan?

Kita berharap siapa pun kelak yang duduk di kursi legislatif adalah figur yang memiliki integritas, mengedepankan kejujuran dalam mengemban amanah dari rakyat. Jadi, bukan caleg yang suka menabrak peraturan perundang-undangan. (*)

Oleh D.Dj. Kliwantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013