Mekkah (ANTARA News) - Ika Binti Abdurrohman (43) lega, ibadah hajinya telah selesai dan tidak lama lagi dirinya akan kembali ke Tanah Air.
Aman, pikirnya, hingga menjelang kepulangan tidak ada yang mengetahui kehamilannya.
Ia bisa pulang ke Bogor dengan membawa predikat hajjah yang diidamkannya sekaligus menanti kelahiran anak keempatnya yang diprediksi dokter akan lahir Desember mendatang.
Namun manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Sehari sebelum jadwal kepulangannya ke Tanah Air, Sabtu (26/10), Ika melahirkan.
Karena takut, sebab sejak awal baik petugas maupun jemaah lainnya tidak ada yang menyadari kehamilannya, Ika memutuskan melahirkan di kamarnya didampingi suami, Jaman Bin Mismin (50).
Ketika kaki bayi itu nongol, dengan percaya diri-- mungkin karena berpengalaman melahirkan tiga anak sebelumnya-- Ika meminta suaminya untuk menarik keluar kaki kecil itu.
Untunglah sang suami tidak berani. Normalnya bayi lahir keluar kepalanya dulu, bukan kakinya. Bayi kecil itu lahir sungsang.
Maka gegerlah pemondokan 610 Sektor 6 di Misfalah, Makkah. Tidak ada yang berani membantu persalinan tersebut sebelum seorang jemaah yang kebetulan adalah dukun bayi bersedia membantu dengan peralatan seadanya.
Tali pusar bayi, yang ternyata perempuan, itu dipotong dengan gunting bekas tahalul (memotong rambut setelah berihram).
Meski sungsang, proses persalinan Ika, yang terbilang tidak muda lagi dan terakhir kali melahirkan 22 tahun lalu itu dapat dikatakan sangat lancar.
"Sejak awal sampai melahirkan sehat, tidak pernah bersentuhan dengan masalah kedokteran sehingga tidak terdeteksi juga kalau dia hamil. Ketika proses lahir, kebetulan dalam kloter itu ada dukun bayi," kata Kepala Sektor 6 Ali Zakiyudin.
Ali menjelaskan, sejak awal pihak sektor maupun kloternya (Kloter JKS-14 Jakarta-Bekasi) tidak tahu jika ada jemaahnya yang sedang hamil.
Kabar kelahiran bayi jemaah haji itu segera menyebar termasuk ke Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) yang kemudian mengambil ibu dan anaknya itu untuk diperiksa kesehatannya dan dirawat.
Kebetulan pula karena kloternya sudah kembali ke Jakarta, keluarga tersebut sementara menetap di BPHI hingga mendapat kepastian pemulangan ke Tanah Air.
Marwah
Bayi mungil yang saat lahir beratnya tidak sampai tiga kilogram itu dinamai Makkiyah Marwah.
"Saya sendiri yang memberi nama," kata Ika saat ditemui di BPHI Mekkah sepekan setelah melahirkan.
Semula, katanya, anaknya akan ia beri nama Siti Marwah. Nama Marwah tercetus saat ia beristirahat karena kelelahan sai di Bukit Marwah.
"Ternyata lahirnya di Mekkah, ya sekalian saja dinamai Makkiyah Marwah," kata ibu empat anak yang sudah memiliki cucu itu.
Makkiyah menggenapi kebahagiaan Ika dan Jaman yang sudah dikarunia tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Yang tertua berusia 28 tahun dan yang termuda 22 tahun.
Sayangnya ketiga kakak Makkiyah itu tidak bisa segera bertemu adik mereka karena terganjal dokumen pemulangan.
Menurut Kepala Seksi Kesehatan Daerah Kerja Mekkah dr. Subagyo Sunarto bayi perempuan itu masih menunggu keluarnya surat keterangan medis untuk terbang (medical information form for flight/medif) dari pemerintah Arab Saudi.
Keluarnya surat tersebut mensyaratkan dokumen-dokumen asli, terutama surat nikah orangtuanya karena pihak Saudi menolak fotokopian ataupun dokumen yang dikirim melalui faksimili.
"Jadi harus dikirim dari sana," kata Ketua Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dr. Fidiansjah.
Dokumen dimaksud dibutuhkan karena bayi itu tidak lahir di rumah sakit. Untuk memastikan bahwa Ika dan Jaman benar-benar orangtuanya.
Namun berkat kerja keras dan kegigihan semua pihak, Daker Mekkah, BPHI, Konsul Jenderal RI, surat itu pun akhirnya keluar dan Makkiyah bisa pulang.
Minggu (3/11) malam sekitar pukul 20.00 waktu setempat, delapan hari setelah dilahirkan, Makkiyah beserta kedua orangtuanya diberangkatkan ke Madinah dengan ambulans.
Mereka akan menumpang pesawat Saudi Arabian dengan nomor penerbangan SV5100 bersama rombongkan Kloter JKS-34.
Lantas bagaimana ceritanya Ika bisa lolos ke Arab Saudi dalam keadaan hamil tua, sementara pemeriksaan kesehatan bagi jemaah haji terbilang cukup ketat?
Pemerintah Daerah Bogor --tempat Ika dan suaminya berasal-- lah yang bisa menjawab.
Namun kata dr. Fidiansjah, sejak awal Ika menyembunyikan kehamilannya karena tidak ingin keberangkatannya ke Tanah Suci batal.
Dengan pertimbangan bahwa dia sudah mengantre selama empat tahun, kemudian ada pemotongan kuota 20 persen, maka sejak awal dia sudah menyiapkan segala macam cara untuk menyembunyikan kehamilan itu.
Mulai dari tahap di Puskesmas, Ika tidak menyatakan kehamilannya dan kondisi itu didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang negatif. Hasil negatif dimungkinkan pada kehamilan yang sudah cukup bulan, katanya.
Pada pemeriksaan kesehatan kedua, lanjut Fidiansjah, Ika mengaku sedang menstruasi kepada dokter sehingga dokternya yakin dia tidak sedang mengandung.
"Dengan informasi tersebut, apalagi bagi orang yang mau pergi haji, tidak terpikir bahwa orang akan menipu dan membuat data-data yang tidak benar, maka dokter pun percaya sehingga lolos pada pemeriksaan tahap kedua di rumah sakit," papar Fidiansjah.
Pada tahap embarkasi, Ika mengaku berusia 53 tahun karena mendapat informasi wanita di atas 50 tahun --karena dianggap sudah melewati usia subur-- tidak diperiksa intensif sehingga ia pun lolos berangkat ke Arab Saudi.
Selama berada di Aras Saudi, Ika selalu menutupi perutnya dengan tas dan kerudung yang besar sehingga perutnya yang besar tersamarkan.
Di luar semua itu, kuasa Tuhan lah yang membawanya ke Tanah Suci untuk berhaji dan melahirkan anak keempat, setelah 22 tahun kelahiran anak ketiganya, dan di usianya yang sudah 43 tahun, dengan selamat.
(F005/Z003)
Pewarta: Fitri Supratiwi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013