Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang, Ahmad Fathanah, divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan pidana karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
"Menyatakan terdakwa Ahmad Fathanah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua dan menjatuhkan pidana penjara 14 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan," kata ketua majelis hakim Nawawi Pomolango dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding yang dituntut oleh jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Fathanah dihukum pidana 17,5 tahun penjara dan dendar Rp1,5 miliar dengan perincian penjara 7 tahun 6 bulan dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara untuk tindak pidana korupsi dan penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun dan 6 bulan kurungan untuk tindak pidana pencucian uang.
Artinya, hakim menyetujui Fathanah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dari pasal 12 huruf a UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan tindak pidana pencucian uang aktif dari pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Namun hakim menilai bahwa Fathanah tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian pasif yang berasal dari pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Ahmad Fathanah tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan ketiga dan membebaskan dakwaan ketiga," tambah Nawawi.
Vonis tersebut dimuat dalam 833 halaman yang dibacakan selama empat jam oleh hakim Nawawi Pomolango, Aswijon, Sutiyo Jumardi, I Made Hendra dan Djoko Subagyo.
Putusan juga diwarnai oleh putusan yang berbeda pendapat (dissenting opinion) yang diajukan oleh hakim anggota 3 (I Made Hendra) dan hakim anggota 4 (Djoko Subagyo) yang menilai bahwa jaksa penuntut umum KPK tidak berhak melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang.
"Berdasarkan pasal 71 UU No 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang, untuk pemblokiran harus ditandatangani kepala kejaksanaan dan tidak ada KPK sedangkan berdasarkan pasal 72 ayat 5 UU No 8 tahun 2010 penuntut umum di bawah Jaksa agung dan kepala Kejaksaan Tinggi bukan KPK karena jaksa KPK berada di bawah KPK sendiri, jadi kewenangan penuntutan pencucian uang diserahkan ke penuntut umum di kejaksaan neegeri setempat," kata Made Hendra.
Hakim juga sepenuhnya sepakat atas dakwaan tindak pidana korupsi yaitu ada sejumlah uang yang berkaitan dengan penerimaan uang bersama-sama dengan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dalam pengurusan kuota impor daging sapi, Ahmad Fathanah atau Olong sebagai orang yang melakukan atau bersama-sama melakukan dengan Luthfi.
Fathanah juga dinilai terbukti menerima permintaan dari direktur utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman dan tiga anak perusahaannya untuk mendapat tambahan kuota impor daging sapi sebesar 8.000 ton dengan komisi sebesar Rp5000 per kilogramnya.
"Terdakwa meminta agar saksi Luthfi membantu saksi Maria Elizabeth Liman agar Menteri Pertanian memberikan rekomendasi kuota, saksi Luthfi menyanggupi permintaan Maria untuk mempertemukan dengan Mentan Suswono dengan dukungan Rp40 miliar dan bahkan dibantu untuk menjadi 10 ribu ton supaya mendapat commitment fee hingga Rp50 miliar," tambah Made Hendra.
Hal tersebut tampak dari percakapan telepon dalam bahasa Arab antara Fathanah dan Luthfi yang sudah diterjemahkan.
Fathanah pun menerima uang Rp1,3 miliar dari bagian seluruhnya Rp40 miliar yang telah dijanjikan.
"Setelah terdakwa menerima Rp1 miliar, terdakwa menelepon Luthfi dengan mengatakan Ada kabar yang sangat menguntungkan, jadi janji Rp40 miliar untuk menggerakkan agar mendapatkan kuota impor daging sapi karena Maria tahu Luthfi adalah presiden PKS dan Suswono adalah kader PKS," jelas Made Hendra.
Fathanah disepakati menjadi penghubung kalangan swasta untuk proyek dengan menerima fee yang bukan menjadi kewajiban anggota DPR.
Sedangkan mengenai tindak pidana pencucian uang aktif, majelsis hakim menilai bahwa Fathanah adalah orang yang tidak punya pekerjaan tetap, menjadi penghubung untuk mendapatkan proyek-proyek Kementerian Pertanian, sering menemani Luthfi baik sebagai presiden PKS maupun anggota DPR.
"Terdakwa terbutki melakukan mentransfer, membelanjakan, membayarkan, menukarkan mata uang selama Januari 2011 - Januari 2013 hingga mencapai Rp38,7 miliar sehingga dapat dibuktikan ada perbuatan terdakwa menempatkan, mentranfser, membelanjakan, membayarkan, menukar mata uang, terpenuhi," ungkap anggota majelis hakim Sutiyo.
Artinya hakim menilai bahwa Fathanah yang tidak punya pekerjaan tetap, sering berada di Hotel Kempinski atau Kementerian Pertanian dan tidak jelas pendapatan per bulannya namun dapat melakukan transaksi fantastis dalam periode Januari 2011-Januari 2013.
"Ada transaksi keuangan tidak wajar dalam sehari-hari dan kalaupun ada penghasilan, tidak seimbang dengan penerimaan. Sedangkan terdakwa punya kedekatan khusus, dengan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai anggota DPR dan presiden PKS sehingga bisa menjadi makelar/broker untuk pengusaha yang mau mendapatkan proyek atau pencalonan seseorang yang dicalonkan PKS, atau mengurus orang yang mau menjadi anggota legislatif di daerah atau pusat dengan menggunakan pengaruh Luthfi dan atas sepengetahuan Luthfi dan mendapatkan keuntungan, bahkan keuntungan juga dibagikan oleh Luthfi," jelas hakim Aswijon.
Fathanah dinilai memang ditugaskan untuk mengumpulkan dana pengurusan kuota impor daging sapi, pengurusan proyek benih kopi dan jagung, pengurusan penempatan pejabat dan komisi digunakan sebagian untuk Luthfi untuk pembelian mobil, tiket, dan lainnya.
Hakim menilai bahwa Fathanah memang menerima uang ijon dari pengusaha Yudi Setiawan sebesar Rp20 miliar dengan tugas Luthfi untuk mengupayakan proyek-proyek di Kementan dan mengawal di DPR.
"Uang untuk Luthfi dari Yudi Setiawan ditandatangani oleh terdakwa karena hubungan yang saling percaya dan terdakwa tidak bisa membuktikan uang yang ditransfer ke pihak lain adalah harta yang bersumber dari penghasilan yang sah, meski terdakwa membantah bahwa uang itu untuk membayar bayar utang dan Luthfi mengatakan itu adalah utang yang masih sisa Rp2,98 miliar tapi tidak disertai dengan bukti maupun saksi yang mendukung adanya utang-piutang yang bahkan rekaman persidangan Luthfi, Elizabeth dan terdkawa tidak ada satu kalimat pun menjelaskan utang," ungkap hakim Sutiyo.
Namun untuk tindak pidana pencucian uang pasif yaitu menerima transfer dari orang lain sebanyak 58 orang seperti Yudi Setiawan, calon gubernur Sulawesi Selatan Ilham Arif Sirajuddin, pengusaha Billy Gan dan Andi Pakurimba Sose bukanlah uang hasil tindak kejahatan.
"Tidak ada bukti uang Yudi dari hasil kejahatan korupsi, transfer biaya pemenangan Ilham Arif Sirajuhddin itu dari simpatisan dan uang pribadi hasil usaha yang legal sehingga tidak ada bukti uang dari tindak pidana, demikian juga uang dari Billy Gan dan Andi Pakurimba Sose karena dari uang pribadi yang berasal dari hasil yang legal," ungkap hakim Sutiyo.
Atas putusan tersebut, baik Fathanah maupun jaksa menyatakan pikir-pikir.
(D017/I007)
Pewarta: Desca Lidya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013