Kuala Lumpur (ANTARA) - Dalam kamar mungil berlantai tanah nan gelap itu, Derfi Bisilisin (37) terduduk di atas dipan kayu beralas anyaman tikar, tidak jauh dari koper yang masih tertutup rapat oleh plastik pembungkus dari Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), Malaysia.

Ia baru saja melakoni perjalanan pulang yang panjang, 34 jam lebih dari Kuala Lumpur ke desanya di Bakuin, Nusa Tenggara Timur (NTT). Inderanya menyapu seisi kamar yang gelap tanpa penerangan itu, kamar yang pernah ditempatinya saat kecil.

Satu-satunya jendela yang ada sudah tertutup rapat, membuat cahaya matahari yang tersisa petang itu semakin tidak sanggup menyelinap masuk untuk menerangi kamar.

Tidak terlihat kasur, bantal, guling, apalagi selimut. Hanya dia, duduk dalam diam di atas dipan kayu berlapis anyaman tikar, dalam kamarnya yang gelap.

Dari rumah itu semua berawal. Ia tiba di rumah tepat saat malam Natal 2023, tempat semua bermula, sebelum dirinya pergi merantau ke Malaysia.

Dalam satu kesempatan Derfi mengatakan hanya bisa berdoa dan berharap ada keajaiban, sehingga mendapat kabar baik dari proses gugatan perdata di pengadilan Malaysia yang masih berjalan.

Dengan difasilitasi Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur, Derfi menuntut Koe Bon Aik, mantan majikannya di Kelantan secara perdata untuk membayarkan semua gaji yang belum diterimanya, setelah bekerja siang dan malam selama sembilan tahun tiga bulan.

Dalam dua tuntutan terpisah, Derfi menggugat mantan majikannya untuk membayar 160.000 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp522,7 juta untuk gajinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tuntutan kedua, yakni sebesar RM170.000 (sekitar Rp555,39 juta) sebagai gaji pembantu bengkel aksesoris mobil atau mekanik.

Ia berdoa agar dapat memenangkan gugatan itu dan bisa mendapatkan gajinya. Hanya itu yang menjadi harapannya untuk bisa memulai lagi semuanya dari awal, sehingga bisa memperbaiki ekonomi keluarganya.

Ayahnya, Lefinus Oematan sudah terlalu tua untuk menggarap ladang, dan kini lebih banyak digantikan oleh adik laki-lakinya. Hanya saja, berladang tidak bisa menjadi sumber utama pendapatan mereka, karena hasil dari tanaman padi tadah hujan dan jagung hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.

Hanya adik bungsunya yang sekarang bekerja di Kupang sebagai pembantu rumah tangga. Karenanya, dirinya benar-benar memutar otak memikirkan pekerjaan atau usaha yang bisa dikerjakannya untuk membantu perekonomian keluarga, setelah kembali dari Malaysia.

Derfi Bisilisin menggendong keponakannya di belakang rumahnya di Desa Bakuin, Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (24/12/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Kondisi Desa Bakuin

Kebutuhan ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri menjadi alasan utama mengapa banyak Warga Negara Indonesia (WNI) memilih menjadi pekerja migran.

Jangankan Derfi yang berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Kupang, NTT, banyak pekerja migran yang ditemui di Malaysia datang, bahkan dari kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Tidak adanya lapangan pekerjaan di tempat asal mereka, menjadi alasan utama.

Desa Bakuin, tempat Derfi berasal, berada di Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, berjarak beberapa kilometer saja dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Oepoli yang menghubungkan Indonesia dengan Distrik Oekusi di wilayah enclave Timor Leste.

Dengan kondisi jalan yang mayoritas tidak beraspal, ditambah banyaknya anak-anak sungai dan sungai berbadan lebar tanpa jembatan, perjalanan dari Bandara di Kupang terasa begitu panjang untuk dapat menjangkau lokasi itu.

Saat musim hujan, pilihan terbaik adalah berputar melewati beberapa kabupaten. Karena terlalu berisiko jika harus melewati badan sungai yang begitu besar dan berarus deras, dengan ancaman banjir bandang yang kapan pun bisa terjadi.

Desa Bakuin sesungguhnya merupakan desa pesisir yang menghadap ke Laut Sawu. Bahkan di tahun 2000-an, menurut Kepala Desa Bakuin Ferdi Usias Yonatan Henukh, warga masih menggunakan perahu kecil untuk pergi ke Kota Kupang karena akses jalan darat lebih sulit ditembus.

Perjalanan begitu panjang. Pergi pagi pukul 06.00 waktu setempat, biasanya petang baru akan sampai di Kupang.

Sekarang, ujar Ferdi, ada bus yang setiap hari melintas dan dapat membawa warga desa tersebut ke Kupang. Caranya cukup berdiri di depan rumah karena bus akan melewati jalanan itu, penumpang hanya perlu membayar tarif Rp70.000 di musim kering dan Rp100.000 saat musim hujan.

Jaringan listrik baru saja masuk ke desa itu pada 2019, dan benar-benar baru menyala pada 2021. Tidak semua rumah warga dialiri listrik, melainkan hanya warga yang mampu yang memilih memasang listrik.

Saat Derfi mulai merantau pada 2011 ke Malaysia, kondisi desa yang ia tinggalkan itu masih gelap tanpa penerangan. Bahkan, ketika dirinya pulang, tidak terlihat ada sambungan kabel listrik langsung dari tiang yang ada di depan rumahnya.

Hanya terlihat satu kabel berwarna putih yang ditarik dari rumah tetangganya ke dalam rumahnya.

Saat ANTARA hendak meninggalkan desa itu pada Minggu (24/12/2023) petang, bahkan listrik dalam keadaan padam. Kondisi seperti itu, menurut kepala desa, memang sering terjadi.

Rumah Derfi Bisilisin di Desa Bakuin, Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (24/12/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Beruntung pada 2021 sinyal dari BAKTI Kominfo mulai masuk ke desa terpencil itu. Untuk pertama kali, sejak kepergiannya di 2011, Derfi yang berhasil kabur dari rumah majikan dan ditampung sementara di rumah kebajikan di Kelantan dapat berbincang dengan mama, melalui sambungan telepon, meski hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit.

Mayoritas penduduk desa bertani atau berkebun di ladang tadah hujan, namun ada pula yang menjadi pengusaha gula aren, yang, menurut dia, sebetulnya menjanjikan untuk perekonomian.

Sayangnya, kata Ferdi, pohon-pohon aren tidak terlalu banyak tumbuh di wilayah Desa Bakuin, sehingga tidak bisa juga menjadi sumber pemasukan utama mayoritas penduduk desa itu.

Padahal, menjadikan potensi gula aren sebagai produk unggulan dan menjadi sumber mata pencaharian warga desa cukup besar. Terlebih beberapa keluarga di desa tetangga lumayan banyak yang sukses menjadi produsen gula aren, hingga mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang perguruan tinggi.

Mereka bisa memperoleh pemasukan hingga Rp8 juta untuk produksi gula aren, dalam beberapa minggu saja. Agen akan datang membeli gula-gula itu untuk dibawa ke Kupang, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk distribusi maupun promosi karena sudah pasti ada yang menampung.

Hanya saja, pekerjaan membuat gula aren memang tidak mudah. Butuh tenaga ekstra untuk memanjat pohonnya, mengolah bahan bakunya, hingga akhirnya siap dijual.

Mereka yang terhitung sukses memproduksi gula aren di desa tetangga, melibatkan hampir seluruh anggota keluarga membuat produk itu.


Alasan ke Malaysia

Keluarga Derfi, dari ayah hingga kemudian dilanjutkan adik laki-lakinya, bertani menanam padi tadah hujan yang hasilnya hanya setahun sekali dan jagung untuk sekadar memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga saja.

Kebun di samping dan belakang rumah Derfi yang sekarang ditempati saudara ayahnya tertanam beberapa pohon cabai dan singkong. Sementara di depan rumah terdapat dua pohon mangga berukuran besar yang rindang, yang cukup memberi keteduhan saat matahari menyengat di ubun-ubun kepala.

Tidak terlalu banyak yang dikerjakan keluarganya untuk menambah pemasukan. Sebelum merantau untuk bekerja ke Malaysia, terkadang dirinya memanjat pohon asam dan mengumpulkan buahnya untuk dijual.

Hasilnya tidak terlalu banyak, kata Derfi. Hanya bisa membawa pulang Rp20.000-Rp30.000 saja dari berkantung-kantung buah asam yang dijualnya.

Derfi, anak sulung dari keluarga itu, memang menjadi harapan satu-satunya kala itu. Perempuan itu diharapkan bisa memberikan perubahan untuk perekonomian keluarga.

Derfi Bisilisin (kanan) mendengarkan Operator Krisis Center Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT Januarius Katadon (kiri) bersama kerabatnya di rumahnya di Desa Bakuin, Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (24/12/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Anak pertama pasangan Lefinus Oematan dan Anika Takaeb itu membulatkan tekad, setelah mendengar tetangganya berhasil di perantauan, hingga mampu membangun rumah bertembok semen.

Itu alasan utama Derfi memutuskan pergi dari kampungnya, ingin juga sukses memberikan perubahan ekonomi untuk keluarganya, mengubah nasib mereka. Apa mau dikata, nasib dia tidak sama dengan tetangganya yang sukses.

“Saya kabur,” kata Derfi, menceritakan kembali apa yang terjadi 12 tahun lalu, tepatnya tahun 2011.

Begitu mantan pekerja migran itu membahasakan keputusannya merantau. Kabur, tanpa menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Amfoang Utara.

Ia hanya menamatkan pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) Negeri Poanbaun, di Amfoang Utara.

Dari pengakuannya, sang ayah, Lefinus Oematan telah memberinya izin saat itu untuk bekerja ke Malaysia, namun hanya untuk dua tahun saja.

Meski pada akhirnya, karena sesuatu dan banyak hal, ia tidak dapat memenuhi janji pada orang tuanya untuk kembali tepat waktu.


Awal kepergiannya

Dalam perjalanan pulang yang panjang itu ia mencoba memanggil lagi ingatannya, ketika ANTARA menanyakan kapan dan bagaimana dirinya meninggalkan kampung halaman.

“Siang hari, naik kendaraan ke Kupang,” katanya, singkat. Entah berapa lama waktu tempuh, saat itu, sudah tidak diingatnya.

Ada sekitar tujuh orang, termasuk dirinya, semua sempat menetap di Kupang, sebelum akhirnya diterbangkan ke Batam melalui Jakarta, namun tidak semuanya diberangkatkan ke Malaysia, karena mereka yang bisa berbahasa Inggris ditempatkan ke negara penempatan yang berbeda.

Ia termasuk yang diberangkatkan ke Malaysia, sedangkan tetangganya ada yang bisa berbahasa Inggris, akhirnya diberangkatkan ke Singapura untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga.

Dari Batam, ia menyeberang ke Johor Bahru di bagian paling selatan Semenanjung Malaysia dan melanjutkan perjalanan darat dengan bus hingga ke Kelantan, negeri di bagian utara Malaysia yang berbatasan langsung dengan wilayah di bagian selatan Thailand. Perjalanan darat lebih dari 16 jam itu pun ia lakoni.

Menurut dia, memang tidak sepeserpun uang dikeluarkan saat itu, semua ada yang menanggung. Namun gajinya selama enam bulan harus disetorkan kepada agen penyalur tenaga kerja yang membawanya hingga ke Kota Bahru, Kelantan.

Sesampainya di Kota Bahru ia masih ditampung di tempat agen untuk mengikuti sejumlah pelatihan untuk menjadi pembantu rumah tangga. Pelatihan cara menggunakan peralatan rumah tangga, hingga cara membersihkan rumah.

Itupun tidak lama, karena calon majikan yang membutuhkan tenaganya sudah datang menjemputnya di tempat agen. Hari itu semua cerita kelam bermula.

Pada awalnya Derfi memiliki dokumen kerja resmi karena majikannya masih mau mengupayakan, namun selanjutnya dokumen itu tidak pernah diperpanjang, sehingga membuat dirinya bekerja secara ilegal, dan kehilangan posisi tawar sebagai pekerja migran.


Baca juga: Mengupayakan kasus serupa Derfi Bisilisin tidak terulang lagi (habis)
Baca juga: Perjalanan mengantar Derfi pulang ke Bakuin (bagian 2)
Baca juga: 12 tahun tak kembali ke tanah air, Derfi akhirnya pulang dari Malaysia (bagian 1)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024