Kebutuhan aspal lima tahun terakhir sekitar 1,2 juta ton per tahun..."

Jakarta (ANTARA News) - Sebagian besar kebutuhan aspal untuk konstruksi infrastruktur di Indonesia masih harus diimpor sehingga dibutuhkan beragam upaya untuk meningkatkan produksi aspal dari lokasi dalam negeri, kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak.

"Kebutuhan aspal lima tahun terakhir sekitar 1,2 juta ton per tahun dan akan semakin meningkat di masa mendatang," catatnya dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News di Jakarta, Sabtu.

Menurut Hermanto, mengingat produksi aspal dalam negeri hanya sekitar 400 ribu ton per tahun, maka Indonesia harus mengimpor sisa kebutuhan dari luar negeri.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah mendukung sejumlah usaha dalam membuat aspal lebih mudah didapat, ekonomis, dengan kualitas yang lebih baik.

Hal tersebut, lanjutnya, didukung dengan pengembangan teknologi untuk mencapai keberlanjutan dalam pembangunan jalan di Indonesia.

Ia juga mengemukakan, beberapa persoalan terkait aspal yang terdapat di Indonesia adalah permasalahan kualitas dan kelangkaan aspal yang mengakibatkan terhambatnya penyelesaian proyek jalan, serta harga yang tidak menentu.

Sebelumnya, pengusaha aspal meminta pemerintah melakukan penyesuaian harga aspal atau "price adjustment" terhadap kontrak saat ini, baik itu kontrak tahun jamak maupun kontrak tahun tunggal.

Penyesuaikan harga terhadap kontrak tersebut disebabkan naiknya harga bahan material kontruksi, menyusul menguatnya dolar terhadap rupiah sejak dua bulan terakhir, kata Ketua Bidang Organisasi DPP Asosiasi Aspal Beton Indonesia (AABI), Hartono, di Padang, Jumat (11/10).

Akibat penguatan dolar, menyebabkan rata-rata kerugian kami mencapai sekitar 18 persen hingga 21 persen, akibat seluruh bahan material kontruksi naik, "Padahal banyak pengusaha mengalami kerugian karena bekerja dengan belanja aspal lebih mahal dari perkiraan," jelas Hartono.

Sebagaimana diberitakan, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) meminta dukungan kemudahan dari pemerintah sebagai dampak melemahnya rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi akhir-akhir ini.

"Melemahnya rupiah berimbas pada kenaikan harga berbagai material utama konstruksi lebih dari 21 persen," kata Kepala LPJKN Tri Widjajanto.

Menurut Tri Widjajanto, kenaikan harga tersebut tidak hanya terjadi pada material utama konstruksi tetapi juga berdampak kepada bidang lainnya yang terkait seperti pengangkutan material.

Ia mengemukakan, melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS dapat disebut sebagai "guncangan" ketiga yang terjadi sepanjang tahun 2013 setelah meningkatnya UMR dan kenaikan harga BBM bersubsidi.

"Kami masih bisa bertahan dengan kenaikan BBM dan UMR, sekarang ini ditambah pelemahan rupiah," katanya.

Untuk itu, ia mengutarakan harapannya agar pemerintah dapat memberlakukan penyesuaian harga terhadap seluruh jenis kontrak serta adanya kebijakan kemudahan pengadaan material konstruksi dan pengurangan pajak impor.
(T.M040)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013