Jakarta (ANTARA News) - Pengambilalihan 58,85 persen saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) hingga kini belum mencapai kesepakatan harga karena adanya perubahan skema pengambilalihan dari "share transfer" menjasi "asset transfer.
"Belum ada kesepakatan harga yang akan kita bayarkan kepada pihak Jepang. Tetapi terhitung hari ini (1/11) 100 persen Inalum sudah menjadi BUMN," kata Menteri BUMN Dahlan Iskan di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat.
Menurut Dahlan, perubahan skema pengambilalihan disampaikan oleh pihak Nippon Asahan Aluminium (NAA) sebagai pemegang saham Inalum.
Ia menjelaskan, sesuai dengan "master agreement" yang sudah disepakati sejak proses pengambilalihan dilakukan 1,5 tahun sebelumnya, pengambilalihan dilakukan dengan skema share transfer.
Pada perundingan yang digelar pada 29 November 2013, diutarakan Dahlan, pihak Jepang minta perpanjangan waktu selama tiga hari setelah 1 November 2013.
Namun tiba-tiba pada 30 November 2013, Jepang secara mendadak memutuskan bahwa skema yang digunakan dalam negosiasi tersebut berubah menjadi aset transfer.
"Perubahan skema ini mengindikasikan bahwa pihak Jepang akan melanjutkan perundingan ini ke arbitrase. Ini baru indikasi, kita lihat saja dalam tiga hari ke depan," ujarnya.
Ditambahkan Dahlan, skema "share transfer" itu cukup mengganti saham PT Inalum yang akan diambilalih, sehingga kalau diambilalih dan menjadi 100 persen maka otomatis asetnya ikut.
Sementara dengan skema aset transfer, adalah kekayaan perusahaan diserahkan.
Diketahui dalam proses perundingan yang sudah berlangsung belakangan ini, bahwa NAA menurunkan nilai buku Inalum menjadi 626 juta dolar AS, dari sebelumnya 650 juta dolar AS.
Sementara itu, pemerintah Indonesia mematok harga sebesar 558 juta sebagai nilai buku, naik sebesar 134 juta dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sebesar 424 juta.
Namun realitanya hingga kini belum ada kata sepakat berapa dana yang harus ditransfer pemerintah Indonesia kepada pihak pemegang saham Inalum.
Persoalan negara
Dahlan menjelaskan, dalam bisnis persoalan harga merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan apalagi terkait dengan negara.
Berbeda dengan Jepang, karena saham yang Inalum dimiliki oleh swasta (NAA) sehingga lebih fleksibel untuk menentukan harga karena cukup dengan persetujuan pemegang saham.
"Swasta itu gampang melakukan "commercial desicion". Begitu pemegang saham setuju yang harus setuju. Tidak ada yang mengganggu gugat," tegasnya.
Sebaliknya ujar mantan Dirut PT PLN ini, pihak Indonesia dalam menentukan harga mengalami kesulitan karena tidak bisa fleksibel.
"Kalau kita membayar lebih dari yang ditetapkan BPKP itu dianggap korupsi. Tidak bisa begitu saja menyetujui untuk menaikkan pembayaran karena kita terikat dengan akuntabilitas dan GCG," tegasnya.
Untuk itu diutarakan Dahlan, pemerintah Indonesia meminta pihak Jepang untuk mengerti persoalan yang sesungguhnya yang mengakibatkan perundingan ini menjadi lebih panjang.
"Bukan kita cerewet menawar-nawar untuk harganya diturunkan. Tetapi karena kita pihak yang mengambilalih adalah negara maka harus mengikuti hasil audit BPKP. Jadi mohon Jepang memaklumi hal itu," ujar Dahlan.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013