Garut (ANTARA) - Sudah sekian musim kemarau lahan pertanian di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat tidak produktif. Lahan pertanian di daerah ini merupakan tadah hujan yang hanya mengandalkan ketersediaan air saat musim hujan, selebihnya selalu dilanda kekeringan.
Dengan kondisi ini, petani pada musim kemarau sering kali harus beralih profesi, mencari pekerjaan lain seperti bekerja sebagai tukang bangunan, atau pergi ke kota untuk mencari pekerjaan agar kebutuhan hidup keluarganya tetap terpenuhi selama kemarau melanda kampungnya.
Ketua Kelompok Tani Berkah Jaya, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Alo Hidayat (45) membenarkan bahwa petani tidak berpenghasilan untuk menghidupi keluarganya saat kemarau melanda. "Kalau kemarau petani berhenti. Mencari kerja lain, jadi kuli bangunan ke kota, karena yang di rumah kan harus makan," ujar Alo.
Namun, para petani Desa Mekarjaya kini sudah tidak khawatir lagi lahan pertaniannya kesulitan air saat musim kemarau, karena di daerah ini sudah dibangun embung geomembran bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut.
Embung yang dibangun tahun 2023 itu berfungsi untuk menampung air dari mata air pegunungan Cihideung di lokasi Kebun Jaya Sena, Kampung Ciarileu, Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang. Embung itu diharapkan bisa mengaliri air ke lahan-lahan pertanian tadah hujan, sehingga tetap produktif menghasilkan berbagai jenis komoditas pangan.
Bagi para petani, keberadaan embung berukuran 25x15 meter dengan kedalaman 2,5 meter itu dapat menjadi "penyambung napas" petani, karena sebelum dibangun embung, ketika musim kemarau tiba, petani sangat kesulitan air.
Pembangunan embung itu disambut antusias petani. Mereka berharap keberadaannya bisa menampung banyak air kemudian mengaliri areal pertanian milik para petani.
Para petani harus bergantian mengalirkan airnya agar semua dapat kebagian air untuk kebutuhan lahan pertaniannya. "Waktu pembangunannya pas saat kemarau, setelah selesai langsung bisa dipakai. Petani sangat antusias. Lagi susah air, ada program itu, tentunya sangat membantu kami," kata Alo yang sudah menekuni pekerjaan bertani sejak usia 20 tahun.
Meskipun baru satu embung yang dibangun, namun persoalan lahan tadah hujan seluas 25 hektare di daerah ini sudah sedikit bisa teratasi. Lahan 10 hektare untuk palawija masih mengandalkan air hujan.
Petani berharap pemerintah bisa membangun lagi tiga embung lagi, sehingga bisa mengairi seluruh lahan pertanian tadah hujan di daerah tersebut .
Jika jumlah embung ditambah, Alo optimistis masyarakat Desa Mekarjaya yang kebanyakan petani tidak akan pergi ke kota lagi untuk mencari pekerjaan, dan tetap bertahan menjadi petani produktif meski musim kemarau.
Keberadaan embung sudah terbukti sangat bermanfaat bagi petani. Musim kemarau sebelumnya yang tidak produktif, kini komoditas pertanian seperti jenis wortel, cabai, dan kentang tetap bisa tumbuh dengan baik.
Jauh bertahun-tahun sebelum ada embung itu dibangun, lahan pertanian tadah hujan di daerah tersebut tidak bisa ditanami karena kering. Jika ada yang menanam dan memanfaatkan air yang sangat terbatas, hasil panennya jauh berkurang. "Tanam kentang misalnya, jika kurang air hasil dari 1 hektare sekitar 8 ton , tapi kalau cukup air bisa 25 ton," katanya.
Menjaga embung
Kabupaten Garut memiliki banyak embung, tidak hanya embung buatan, tapi ada juga embung alami seperti keberadaan danau Situ Bagendit di Kecamatan Banyuresmi yang aliran airnya dimanfaatkan untuk pertanian.
Embung yang sudah ada sejak puluhan tahun yakni Embung Cigalumpit dan Embung Cipadung di wilayah Desa Wanajaya, Kecamatan Wanaraja, Garut, yang sampai saat ini tetap terjaga dengan baik untuk memberikan manfaat bagi masyarakat mendapatkan air bersih, maupun pertanian.
Sumber air yang ditampung di dua embung itu bersumber dari mata air setempat. Embung Cigalumpit maupun Cipadung tersebut tidak pernah kering meski datang musim kemarau, sehingga lahan pertanian tetap produktif menghasilkan tanaman pangan.
Kepala Desa Wanajaya, Iif Firman Nurdin, mengatakan bahwa lahan pertanian di daerahnya selama ini tidak pernah dilanda kekeringan, bahkan menjadi salah satu desa yang produktivitas pertaniannya bagus dibandingkan daerah lain.
Iif bersyukur dua embung itu mampu mengairi areal pertanian sekitar 47 hektare di Desa Wanajaya. bahkan bisa sampai ke lahan pertanian desa lain. Embung tersebut sampai saat ini selalu dijaga agar memberikan kehidupan yang lebih luas.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Garut, lahan pertanian tadah hujan saat ini masih cukup luas mencapai 10.301 hektare. Di lahan tersebut hanya bisa tanam dan panen pada musim tanam 1 yakni selama Oktober sampai dengan Maret, karena adanya turun hujan. Sedangkan musim tanam 2 yakni April sampai September, curah hujan sudah mulai berkurang sehingga tidak bisa melakukan tanam.
Pada musim tanam di bulan April sampai September merupakan rawan kekeringan, sehingga jajaran Dinas Pertanian Kabupaten Garut mengoptimalkan tiga cara untuk mengatasinya yakni melakukan pompanisasi, pembuatan embung, dan membuat sumur bor yang selama ini dinilai bisa mengatasi lahan tadah hujan bisa produktif.
Selama kurun waktu 2021 sampai 2023 sudah membangun dan merehabilitasi 12 embung, Setiap embung itu mampu mengairi areal pertanian seluas 20 sampai 25 hektare. Dari 12 embung tersebut luas pemanfaatannya kini mencapai 240 hektare.
Kepala Bidang Prasarana Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan pada Dinas Pertanian Kabupaten Garut, Rakmat Jatnika, di lahan tadah hujan itu yang tadinya hanya bisa melakukan tanam satu kali, kini bisa ditingkatkan menjadi dua sampai tiga kali tanam , sehingga produktivitas hasil pertanian meningkat.
Rakmat terus mendorong agar dilakukan pembangunan embung di berbagai tempat dan melakukan pipanisasi agar air bisa mengalir jauh ke lahan pertanian tadah hujan. Untuk membangun embung geomembran dengan ukuran 25X25 meter bisa menghabiskan anggaran sebesar Rp120 juta.
Bagi petani, ketersediaan air merupakan hal yang utama sehingga pemanfaatan lahan lebih maksimal, produktif meskipun di musim kemarau, dan masyarakat tetap berpenghasilan, sehingga fenomena petani pergi ke kota saat musim kemarau, tidak akan terjadi lagi.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024