Kami tidak memiliki kepentingan pribadi pada kedua individu tersebut, namun mereka telah melanggar ketentuan visa. Kami memperlakukan mereka sesuai dengan hukum. Itu berarti mereka akan dipulangkan."
Kolombo (ANTARA News) - Sri Lanka mengusir dua aktivis media Australia karena melanggar ketentuan visa, kata Menteri Penerangan Keheliya Rambukwella, Kamis, sehari setelah mereka ditangkap ketika berbicara dengan rekan-rekan lokal mereka.
Rambukwella menyatakan bahwa kedua orang Australia itu -- Jacqui Park dan Jean Worthington -- memasuki Sri Lanka sebagai wisatawan namun melakukan "kegiatan anti-pemerintah" yang melanggar ketentuan visa mereka.
"Kami tidak memiliki kepentingan pribadi pada kedua individu tersebut, namun mereka telah melanggar ketentuan visa," kata menteri itu. "Kami memperlakukan mereka sesuai dengan hukum. Itu berarti mereka akan dipulangkan."
Kelompok hak asasi setempat, Gerakan Media Bebas (FMM), mengatakan, kedua wanita itu diinterogasi lama oleh petugas-petugas imigrasi dan penyelidik kriminal kepolisian pada hari kedua Kamis.
Kedua orang dari Federasi Wartawan Internasional (IFJ) itu ditangkap Rabu di sebuah hotel ketika bertemu dengan teman-temannya dari FMM.
Juru bicara FMM Sunil Jayasekera mengatakan, Park sedang berlibur dan hanya bertemu dengan teman-temannya dan tidak melanggar ketentuan visa.
Menurut Jayasekera, kedua wanita itu masih berada di Sri Lanka dan semula dijadwalkan berangkat Kamis malam atau Jumat pagi.
Belum ada pernyataan segera dari IFJ yang berpusat di Brussel, yang selama bertahun-tahun mendukung aktivis media Sri Lanka.
Sri Lanka memasukkan banyak wartawan asing ke dalam daftar hitam karena laporan-laporan mereka mengenai catatan hak asasi manusia negara itu dan kejahatan perang yang dituduhkan pada tahap-tahap akhir perang etnik pada 2009.
Sejumlah wartawan setempat juga menjadi korban tindakan kriminal dan praktik sensor terhadap berita mereka.
Pada 2009, pemimpin surat kabar Sunday Leader, Lasantha Wickrematunge, seorang pengecam sengit pemerintah, ditembak mati di dekat kantornya di luar Kolombo.
Tahun itu merupakan masa berakhirnya perang besar antara pasukan pemerintah dan gerilyawan Tamil.
Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.
Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada September 2011, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.
Pada April 2011, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.
Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai "tidak masuk akal" dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.
Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang.
PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972, demikian AFP.
(Uu.M014)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013