Jakarta (ANTARA News) - Kasus penayangan sinetron "Selebritis Juga Manusia" (SJM) di stasiun televisi Trans-TV beberapa waktu lalu harus jadi pelajaran bagi semua pihak untuk tetap mematuhi peraturan tentang sensor. "Hal itu menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tetap menaati peraturan," kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Titie Said, di Jakarta, Rabu. Dia mengatakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1994 tentang LSF, bagi sebuah produk seperti film dan sinetron harus melalui proses penyensoran dulu sebelum ditayangkan. Proses sensor itu, katanya, merupakan upaya daya saring LSF untuk menilai layak atau tidaknya suatu film atau sinetron ditayangkan berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran film. Pada dasarnya proses sensor itu akan melihat apakah produk itu berpotensi untuk mengganggu ketertiban umum atau bisa menyinggung pihak-pihak tertentu, katanya. Oleh karena itulah dia menyayangkan pihak yang membuat dan menayangkan SJM itu tidak menyerahkan produknya ke LSF untuk disensor dulu. Dikatakannya bila SJM diserahkan kepada LSF, bisa jadi tidak akan lulus sensor karena melanggar pedoman dan kriteria sensor film, yakni penggambaran kebobrokan mengenai pribadi seseorang yang masih hidup atau sudah meninggal, sesuatu golongan dan atau lingkungan di masyarakat secara berlebih-lebihan. "Setidaknya, bila sinetron SJM itu diserahkan ke LSF, ada kemungkinan tidak lulus sensor, karena bisa menyinggung pihak-pihak tertentu seperti yang sudah terjadi saat ini," katanya. Menurut dia, yang terjadi pada kasus SJM adalah ide pembuatan sinetron diambil dari peristiwa yang menimpa sebuah keluarga artis yang sudah diketahui oleh masyarakat sebelumnya. Hal itu, katanya, dapat menggiring asosiasi masyarakat kepada pribadi atau pihak tertentu setelah menontonnya, walaupun nama pemainnya disamarkan. "Walaupun namanya sudah disamarkan, tapi yang bermain dalam SJM itu orang yang sama. Ya tentu saja asosiasi masyarakat mengarah ke mereka," katanya. Lebih lanjut dia mengatakan beberapa sinetron yang beride sama dengan mengambil kisah nyata sebagai ceritanya, seperti "Oh Mama Oh Papa", tidak menimbulkan masalah karena masyarakat tidak mengenal tokoh yang diangkat. "Buktinya, sinetron `Oh Mama Oh Papa` tidak masalah, karena cerita yang diangkat pada setiap episodenya dapat terjadi pada semua orang. Beda dengan SJM yang sudah di `blow up` dulu lalu dibuat sinetronnya," katanya. Sehubungan itu, Titie Said meminta para pelaku industri film baik rumah produksi, pemain film dan sinetron, serta stasiun TV agar lebih berhati-hati dalam memproduksi suatu film atau sinetron yang mengambil cerita dari kisah nyata seseorang. Ketika ditanya tanggapannya tentang permintaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Trans-TV menghentikan tayangan SJM itu, dia mengatakan adalah kewenangan KPI melakukan hal itu karena sinetron itu sudah ditayangkan ke khalayak umum. "Itu sudah wewenang KPI menegur dan meminta tayangan SJM itu dihentikan dan pihak Trans-TV sudah menghentikannya. LSF hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian apakah suatu film atau sinetron layak untuk ditayangkan ke masyarakat atau tidak berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006