... masuknya jersei ke ranah industri, selain menyasar segmentasi suporter garis keras, jersei juga menyasar ke dunia fesyen.
Jakarta (ANTARA) - Usai Tim Nasional Indonesia meluncurkan jersei (jersey) bersama dengan jenama Erspo pada Senin lalu, muncul perdebatan di ranah publik yang menimbulkan pro dan kontra terhadap seragam skuad Garuda yang terinspirasi dari kedigdayaan Indonesia menaklukkan Jepang pada tahun 1981 tersebut.
Jersei timnas yang digarap oleh apparel lokal tersebut nantinya digunakan skuad Garuda untuk berkiprah di sejumlah kompetisi di antaranya Kualifikasi Piala Dunia 2026, Piala Asia U-23, hingga Piala AFF U-17.
Dalam detail sekilas, jersei pertama yang menggunakan warna dominan merah dengan garis kerah o-neck putih terinspirasi dari jersei timnas Indonesia pada tahun 1981 ketika digdaya menundukkan timnas Jepang. Di jersei pertama ini masih mempertahankan sentuhan jersei pada tahun 1981 dengan mempertahankan kerah o-neck dan garis lingkar lengan berwarna putih.
Namun yang membedakan dari kedua jersei ini terdapat pada sentuhan di logo Garuda Pancasila. Sentuhan logo menyerupai tameng berwarna putih dengan lambang Garuda timbul memberikan kesan yang sedikit lebih kekinian jika dibandingkan dengan logo pada tahun 1981 yang menggunakan logo berupa persegi yang membalut lambang Garuda.
Selain itu dalam jersei berwarna merah yang terbaru terdapat nuansa berupa motif timbul yang bermakna sebagai dukungan dari suporter dengan mengambil corak yang bermakna tepuk tangan, hentakan kaki, suara teriakan penonton dan dentuman drum.
Pada jersei kedua, didominasi dengan warna dasar putih dengan garis kerah yang juga menggunakan model o-neck berwarna merah. Nuansa retro tetap diberikan pada jersei kedua tersebut dengan tetap lambang Garuda Pancasila yang dipadukan dengan motif logo berdesain menyerupai tameng. Dalam logo menyerupai tameng tersebut memiliki makna kekuatan dan perlindungan.
Sementara untuk jersei pertama penjaga gawang didominasi dengan warna hijau stabilo dengan lingkar lengan berwarna merah di lengan. Lalu jersei kedua penjaga gawang didominasi dengan warna biru tua atau navy.
Pro dan kontra menjadi perdebatan panjang tak berujung antara pihak penyedia apparel atau juga warganet. Fenomena semacam ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia namun juga di Jerman.
Timnas Jerman yang juga baru meluncurkan jersei yang dipersiapkan untuk ajang Piala Eropa 2024, tak sedikit menyulut debat kusir. Pasalnya, banyak pihak yang kurang sepakat dengan jersei kedua yang bakal dikenakan oleh Thomas Muller dan kawan-kawan tersebut.
Jersei kedua Jerman, dengan dominasi warna pink, dinilai oleh sejumlah penggemar kurang cocok karena sebelumnya jersei kedua kerap menggunakan warna dominan hitam. Namun pihak Jerman membalas kritikan tersebut dengan sebuah video singkat yang secara harfiah jersei tersebut "representasi baru Jerman".
Sejarah jersei sepak bola
Perkembangan jersei tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sepak bola di tanah Inggris. Peraturan mengenai jersei kali pertama ditetapkan oleh Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) di akhir abad ke-18 tepatnya pada tahun 1891 yang mengatur mengenai kewajiban klub memakai pakaian yang seragam untuk membedakan tampilan jersei dengan lawan.
Aturan tersebut mendata setiap klub untuk mendaftarkan warna dari jersei mereka. Masa awal ini, jersei terbuat dari bahan wol dan berlengan panjang. Selain menggunakan jersei dengan bahan yang berat, di zaman tersebut para klub menggunakan celana panjang yang disebut knicker bocker. Dari segi desain jersei, klub-klub lazim menggunakan desain jersei tanpa kerah hingga menggunakan tali pengencang kerah.
Memasuki awal abad ke-19, jersei sepak bola berbahan wol dinilai terlalu berat dan berubah bahan menjadi katun. Pada tahun 1928, ditekan aturan mengenai penomoran pada jersei. Selain itu di masa ini desain jersei mulai didominasi dengan kerah.
Memasuki dekade 1950 hingga 1960, jersei berkembang pesat dengan menggunakan bahan sintetis yang dinilai lebih ringan dan menyerap keringat dibandingkan dengan katun. Selain itu, klub-klub mulai memasang emblem atau logo yang ditempelkan di jersei. Dari segi desain, jersei di era tersebut begitu populer menggunakan desain kerah berbentuk "V".
Revolusi industri pada jersei kian bertambah pesat pada dekade 1970-an ketika jenama-jenama olahraga mulai merambah ke dunia sepak bola. Masuknya jenama ini juga membuat aturan mengenai desain jersei lebih longgar dan mengizinkan setiap jenama tersebut bereksperimen dengan desain maupun teknologi yang lebih mutakhir.
Usai mulai dipasarkan lebih masif melalui jenama-jenama, memasuki dekade 1980-1990 mulailah jersei seragam bisa menghasilkan pundi pemasukan dengan menyertakan ruang untuk sponsor yang menempel di bagian jersei. Namun aturan ini hanya berlaku untuk klub yang diperbolehkan memasang merek sponsor pada jersei pertandingan, sedangkan pada jersei negara tidak diizinkan menggunakan merek pada jersei pertandingan. Dari sisi desain, pada dekade ini juga mulai memunculkan garis-garis yang identik dengan jenama-jenama tersebut di bagian jersei. Selain itu juga mulai digunakan nomor dada di bagian jersei.
Memasuki era 2000-an, jersei kian lebih berkembang pesat, selain menggunakan bahan lycra hingga dri-fit yang mempunyai sistem distribusi ventilasi udara melalui panel berongga sehingga memudahkan penyerapan keringat.
Pergeseran konsumen
Dengan masuknya jersei ke ranah industri, selain menyasar segmentasi suporter garis keras, perkembangan jersei juga menyasar ke dunia fesyen. Jersei yang semula menjadi representasi atau identitas sebuah klub atau negara kini berkembang memasuki industri pasar fesyen dan semakin masif berkembang dengan munculnya bloke core di era sekarang. Kecenderungan fesyen ini muncul melalui Tik Tok dengan menggunakan gaya khas berupa jersei sepak bola yang umumnya berkesan retro dengan dipadupadankan celana baggy jeans dan sepatu sporty.
Munculnya tren ini tentu menarik para jenama-jenama sepak bola untuk merambah konsumen dengan menyasar sejumlah kalangan industri fesyen bloke core. Kini tak jarang sejumlah jersei dengan teknologi terbaru diproduksi dengan desain-desain klasik mulai dari era 1960 hingga awal dekade 2000. Namun perkembangan industri ini seperti pisau bermata dua, dengan memunculkan jersei-jersei yang mempunyai desain lama dan konsumen yang jauh lebih mementingkan desain maka tak jarang akan menimbulkan pro dan kontra dari peluncuran jersei tersebut.
Meminjam teori dari Pierre Bourdie dalam Distinction: A Social Critique of Judgement of Taste (1979), yang berteori tentang kapital simbolik yang merujuk pada prestige atau gelar sosial yang diperoleh misalnya melalui makanan, pakaian hingga olahraga.
Begitu pula dengan konsumen jersei sepak bola pada masa sekarang yang tak jarang membeli jersei karena simbol yang dilekatkan pada jersei, padahal secara harfiah jersei merupakan identitas dan kulit dari klub dan negara yang dibela. Terlepas dari segi industri (uang), yang diperhitungkan dalam sepak bola tetap sebuah hasil di atas lapangan.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024