Beirut (ANTARA) - Di kamp pengungsi Shatila yang terletak di sebelah selatan Beirut, ibu kota Lebanon, sekelompok perempuan Suriah duduk-duduk sembari sibuk menyulam.
Mereka begitu fokus pada pekerjaannya sehingga kedatangan pengunjung pun tidak mengalihkan perhatian mereka.
Zeinab Al Mokdad (44), seorang ibu tiga anak, adalah pengawas kelompok tersebut. Di ruangan lain, dia menunjukkan kepada Xinhua sulaman yang sudah jadi, di antaranya pembatas buku, tas, boneka, pakaian, dan bantal, yang proses pembuatannya memakan waktu antara tiga jam hingga 15 hari.
"Sulaman merupakan kerajinan tradisional Suriah. Produk-produk sulaman di sini dirancang oleh kami sendiri," kata Mokdad dengan bangga.
Kamp pengungsi itu didirikan pada 1949 untuk menampung warga Palestina yang telantar akibat perang Arab-Israel pertama.
Dimulai dengan tenda sederhana yang didirikan di sebidang tanah kosong, warga Palestina secara bertahap membangun gedung di kamp tersebut dan membentuk komunitas yang erat.
Sejak perang saudara di Suriah pecah pada 2011, puluhan ribu warga Suriah mengungsi ke Lebanon. Banyak dari mereka, termasuk Mokdad, menetap di Shatila.
Keterbatasan kesempatan kerja bagi warga Suriah di Lebanon membuat banyak dari mereka harus melakukan pekerjaan sampingan. Sebagai seorang perempuan, Mokdad menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga, sembari menanggung penderitaan akibat trauma perang di lingkungan asing yang jauh dari tanah airnya.
Pada 2021, dia menemukan sebuah organisasi bernama Alsama, yang berarti langit dalam bahasa Arab. Organisasi ini memberikan kesempatan kepada perempuan pengungsi untuk mendapatkan penghasilan guna menghidupi keluarga mereka melalui kerajinan sulaman. Mereka diperbolehkan bekerja di rumah dan menyelesaikannya di sela-sela pekerjaan rumah tangga.
Bagi Mokdad, pekerjaan tersebut tidak hanya mendatangkan penghasilan tetapi juga memungkinkan dia bertemu lebih banyak perempuan dalam situasi serupa.
"Para penyulam berbagi pengalaman mereka dengan rekan-rekannya ketika bekerja, saling menenangkan dalam percakapan yang akrab," kata Mokdad.
Tidak lama setelahnya, Mokdad dipromosikan menjadi manajer kelompok itu. Di bawah kepemimpinannya, sejauh ini lebih dari 20 perempuan, yang sebagian besar warga Suriah, telah bergabung dengan tim tersebut. Mokdad berniat mengumpulkan 50 orang ke depannya.
Ahad Horan (30) adalah ibu dari lima anak. Dia melihat dirinya bukan sebagai pekerja tetapi sebagai anggota dari keluarga yang penuh kasih sayang ini.
Selain itu, pulang ke rumah dengan membawa upah telah meningkatkan secara signifikan kepercayaan diri dan statusnya dalam keluarganya, kata Horan kepada Xinhua.
Horan bercita-cita menjadi desainer terkenal dan menciptakan karya sulaman yang populer di masa depan untuk meningkatkan kondisi kehidupan para penyulam, dan membuat semakin banyak orang mengetahui keahlian tradisional Suriah ini.
Esraa Al Kassmoo (15) adalah anggota termuda kelompok tersebut dan satu-satunya penerjemah. Dia baru berusia empat tahun ketika keluarganya pindah ke Lebanon dari Aleppo, Suriah.
Tumbuh di Shatila, Kassmoo dulunya sangat pemalu. Sejak menjadi penerjemah bagi para penyulam, dia semakin percaya diri dalam berhubungan dengan orang-orang dari beragam budaya.
Dia datang bekerja setiap hari sepulang sekolah. Meski penghasilannya tidak besar, dia merasa puas karena bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa harus meminta uang jajan kepada keluarganya.
"Dulu keluarga saya khawatir dengan kondisi mental saya, tetapi sekarang mereka bangga dengan saya," kata Kassmoo, seraya menambahkan bahwa dia menghargai pekerjaan itu dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Lewat belajar menyulam, Kassmoo menemukan ketertarikannya pada desain dan seni serta bakatnya di bidang matematika. Dia ingin menjadi seorang insinyur dan menggabungkan minatnya dengan karier.
"Suatu hari nanti, saya berharap dapat kembali ke Suriah dan membangun kembali rumah kami dengan keterampilan saya," ujar Kassmoo penuh tekad.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024