Kebijakan itu akan makin memperparah kemacetan di berbargai kota besar yang belum memiliki sistem transportasi publik yang terintegrasi, murah, nyaman, aman, dan memadai,"

Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 95 anggota Dewan Perwakilan Daerah RI sepakat akan menggunakan haknya untuk mempertanyakan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait mobil murah yang dinilai justru akan semakin memperparah kemacetan lalu lintas.

"Kebijakan itu akan makin memperparah kemacetan di berbargai kota besar yang belum memiliki sistem transportasi publik yang terintegrasi, murah, nyaman, aman, dan memadai. Apalagi semua kota besar di Indonesia belum satupun yang mempunyai sistem transportasi publik yang baik," kata anggota DPD Asal DKI Jakarta, AM Fatwa dalam paripurna DPR RI yang dimpin oleh Ketua DPD RI Irman Gusman, dan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat.

Presiden SBY diminta untuk dapat menjelaskan pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut melalui penerbitan PP.No.41/2013 dan Permen No.33/M-IND/PER/7/2013 tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi, dan harga terjangkau. Menurut rilis data Infrastructur Patnership and Knowledge Center, ongkos sosial kemacetan di Jakarta mencapai Rp 68 triliun per tahun.

"Adanya kemungkinan tingginya permintaan mobil murah di tengah rendahnya lifting (eksplorasi) minyak nasional yang berakibat pada besarnya ketergantungan BBM impor, kebijakan apa yang akan ditempuh saudara Presiden untuk mengendalikan kepemilikan mobil mahal dari mereka yang sudah memiliki mobil, tapi terus menambah jumlah mobil pribadi, dan keluarga untuk mengimbangi permintaan mobil murah, kata AM Fatwa.

Menurut Fatwa, sekiranya Presiden sependapat bahwa terdapat kemungkinan produsen mengimpor secara utuh mobil murah atau kandungan lokalnya tidak memenuhi syarat 80 %, kebijakan apa yang akan ditempuh Presiden menghadapi kemungkinan tersebut ?.

"Atau langkah apa yang akan diambil untuk memastikan program mobil murah itu akan memenuhi syarat komponen lokal minimal 80 persen ?," kata Fawa.

Selain itu, tambah Fatwa, apa yang akan ditempuh Presiden SBY agar kebijakan mobil murah tersebut, tidak hanya terkesan sebatas kebijakan `populis' yang mendorong citra positif pemerintah, karena sebenarnya pemerintah belum memiliki cetak biru (blue print) dalam membangun daya saing industri otomotif nasional?

"Apakah ada kebijakan khusus dari Presiden di bidang infrastruktur dan moda transportasi yang sesuai kebutuhan setempat dan secara ekonomi relatif murah ?. Apakah kebijakan mobil murah itu merupakan nama lain dari kebijakan mobil nasional?," tanya Fatwa.

Padahal menurut Fatwa, pada pertemuan G20 di Pittsburgh September 2009, Presiden pernah mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020, berdasarkan skenario `businnes as usual` (BAU).

Sementara dengan kebijakan mobil murah itu tambah Fatwa, justru akan menimbulkan konsekuensi logis seperti kemacetan, memburuknya kualitas udara di kota-kota besar, dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat.

Proyeksi Bappenas, dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyatakan akan muncul kerugian ekonomi sebesar Rp 28,1 triliun, dan kerugian nilai waktu perjalanan mencapai Rp 36,9 triliun, bila tidak ada perbaikan sistem transportasi Jabodetabek sampai 2020.

Sementara itu perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup akibat pencemaran udara di Jakarta, jumlah biaya kesehatan yang dikeluarkan mencapai Rp 38,5 triliun.

"Rilis data Infrastructur Patnership and Knowledge Center ongkos sosial kemacetan di Jakarta mencapai Rp 68 triliun per tahun," kata Fatwa.
(J004)

Pewarta: Jaka Suryo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013