Yerusalem (ANTARA) - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (19/3) menolak seruan Amerika Serikat (AS) untuk membatalkan operasi darat di Kota Rafah, yang saat ini didiami oleh 1,5 juta pengungsi Palestina, tetapi setuju mengirim delegasi ke Washington.
Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Netanyahu dan Presiden AS Joe Biden melalui panggilan telepon pada Senin (18/3) sepakat bahwa tim mereka akan "segera" bertemu di Washington guna "bertukar pandangan dan mendiskusikan pendekatan alternatif" untuk operasi darat besar-besaran di Rafah.
Kantor Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa delegasi tersebut, yang dipimpin oleh Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, akan berangkat pekan depan "demi kelanjutan pertempuran."
Sebelumnya pada Selasa, Netanyahu mengatakan dalam pidatonya di depan Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan di parlemen Israel bahwa serangan darat merupakan satu-satunya cara untuk mengalahkan militan Hamas di Rafah.
Dia "menjelaskan sebaik mungkin" kepada Biden bahwa Israel "bertekad akan menyelesaikan pemusnahan batalion (Hamas) di Rafah, dan tidak ada cara untuk melakukan ini tanpa serangan darat."
Sementara itu, pasukan Israel melanjutkan serangan mereka di kompleks Rumah Sakit al-Shifa di Gaza City pada hari kedua, menggempur rumah sakit terbesar di wilayah kantong tersebut dengan tank dan serangan udara.
Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pasukan mereka menewaskan lebih dari 50 militan Palestina dan sekitar 300 orang telah ditahan dalam serangan yang menarget militan "senior" Hamas itu. Dua tentara Israel tewas dalam serangan tersebut, demikian diumumkan IDF.
Israel melancarkan serangan ke Gaza pada 7 Oktober 2023 sebagai respons atas serangan Hamas serta langsung menerapkan blokade atas air, makanan, listrik, dan obat-obatan, sehingga mengakibatkan kekurangan pasokan yang akut.
Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi bantuan mengungkapkan bahwa jumlah bantuan yang diizinkan oleh Israel untuk memasuki Gaza tidak memenuhi kebutuhan mendesak yang diperlukan guna mencegah meluasnya kelaparan.
"Prediksi kelaparan yang akan segera terjadi di Gaza dapat dicegah," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk dalam sebuah pernyataan video.
"Masifnya pembatasan yang dilakukan Israel terhadap arus bantuan, serta cara Israel melakukan pertempuran, bisa dibilang sama saja dengan menggunakan kelaparan sebagai metode perang," tegas Turk.
Pernyataan itu disampaikan Turk sehari setelah Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (Integrated Food Security Phase Classification/IPC) merilis laporan yang memperingatkan bahwa "kelaparan akan segera terjadi di wilayah utara dan diperkirakan akan terjadi sewaktu-waktu antara pertengahan Maret hingga Mei 2024."
Perang ini telah mengakibatkan sekitar 1,1 juta orang, sekitar setengah dari populasi Gaza, mengalami "bencana" kelaparan, ungkap laporan tersebut.
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UN Relief and Works Agency for Palestine Refugees/UNRWA) memperingatkan melalui platform media sosial X bahwa sedikitnya 23 anak telah meninggal karena malanutrisi akut, dan makin banyak anak-anak berada di ambang kematian akibat kelaparan, terutama di Gaza utara.
Israel berkilah bahwa pihaknya menghalangi truk-truk bantuan.
Mengomentari laporan di X, kantor Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Kawasan, sebuah badan pemerintah di Israel, mengatakan bahwa lebih dari 200.000 ton makanan memasuki Gaza sejak perang pecah, lebih dari 1.250 paket dikirimkan melalui penerjunan bantuan, dan lebih dari 150 truk bantuan tiba di Gaza utara dua pekan terakhir.
Jumlah warga Palestina yang tewas di Gaza akibat serangan Israel telah mencapai 31.819 orang, kata Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas pada Selasa.
Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024