Jakarta (ANTARA) - Pendiri Hermana Boots dan Pelatih Adopsi Digital DEA KOMINFO Anggraini Hermana membagikan ciri-ciri "catfishing" agar masyarakat dapat terhindar dari dampak buruknya.
"Ciri-ciri dari 'catfishing' adalah menggunakan identitas dan foto palsu, informasinya tidak konsisten dan mencurigakan, dan terkadang pelaku menolak diajak bertemu langsung atau sekadar lewat panggilan video," kata Anggraini dalam rilis pers, Rabu.
Hal itu dikatakannya dalam webinar bertema "Catfishing: Kebohongan Digital dan Strategi Bijak Menavigasinya" yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika di Bone, Sulawesi Selatan, Selasa (19/3).
Baca juga: Marak penipuan daring, Kemenkominfo hingga BSSN luncurkan VOMO
Baca juga: Empat dari lima orang Indonesia mudah tertipu transaksi daring
Anggraini menjelaskan bahwa "catfishing" adalah praktik di mana seseorang menciptakan identitas palsu atau mengaku menjadi orang lain secara daring, biasanya dengan tujuan untuk menipu, merayu, atau memanipulasi orang lain.
Perilaku ini bertujuan untuk memikat seseorang yang biasanya berkedok romantisme. Istilah ini muncul pertama kali pada 2010 lewat sebuah film dokumenter.
Dia mengungkapkan, beberapa alasan seseorang melakukan "catfishing" yakni pelaku merasa tidak percaya diri, memiliki tujuan kriminal, depresi, atau bisa juga untuk tujuan penipuan finansial.
"Dampaknya bagi pelaku, 'catfishing' dapat merusak mental. Sementara bagi korban, selain dapat menyebabkan kerugian finansial, bisa menurunkan kepercayaan terhadap orang lain," kata dia.
Anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Ade Irma Sukmawati menambahkan bahwa meningkatkan kewaspadaan menjadi kian penting saat beraktivitas di dunia maya.
Pasalnya, pelaku "catfishing" banyak menggunakan medium digital dalam menjalankan aksinya. Itulah kenapa para pelaku enggan atau menolak diajak bertemu langsung.
"Oleh karena itu, dibutuhkan kewaspadaan saat berinteraksi online. Sebab, banyak sekali identitas anonim di ruang digital saat ini," ucapnya.
Ade menambahkan, tidak ada yang aman 100 persen di dunia digital. Yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan risiko menjadi sekecil mungkin. Selain itu, dibutuhkan daya kritis atas setiap informasi yang diperoleh dari dunia maya.
Sementara itu, Wakil Koordinator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Semarang Fiskal Purbawan memberikan sejumlah kiat agar terhindar dari "catfishing".
Menurut dia, selain bisa mengidentifikasi pelaku "catfishing" dengan mudah, yaitu ketiadaan foto pribadi dan jumlah pengikut maupun interaksi yang minim, cara lainnya adalah dengan memperbanyak menggali informasi lewat teman terdekat.
"Ada dua alat untuk mencari tahu atau menggali lebih jauh pelaku 'catfishing'. Pertama, gunakan Google Image untuk memeriksa keaslian foto pelaku. Kedua, cek nama pelaku di mesin pencari atau di berbagai media sosial yang ada," ucapnya.
Langkah lainnya adalah tidak mudah mengumbar data pribadi di media sosial. Selain itu, sikap mudah percaya terhadap orang yang dikenal di media sosial kian mempermudah seseorang terjerat sebagai korban "catfishing". Apabila diajak bertemu, disarankan untuk melibatkan teman untuk menemani.
Lokakarya literasi digital ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam program Indonesia Makin Cakap Digital yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Baca juga: Ramai penipuan pakai "voice note", ini kata pakar
Baca juga: Pemerintah ingatkan masyarakat waspada "love scamming" di dunia maya
Baca juga: Tips aman bertransaksi digital agar terhindar modus penipuan
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024